Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Administrasi - Kerja di dunia penerbitan dan dunia lain yang terkait dengan aktivitas tulis-menulis

Founder #purapurajogging

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lokomotif Uap Pembawa Rindu

5 Agustus 2017   17:36 Diperbarui: 16 Agustus 2017   05:13 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SIANG itu saya kembali menuju gedung megah kuno di seputaran titik nol kilometer Jogja. Ya, lagi-lagi saya hendak menyambangi Vredeburg. Piknik? Ya, piknik. Tapi piknik plus plus. Yakni plus menghadiri suatu acara.

Namun, saya tidak merasa terpaksa datang ke situ. Vredeburg toh merupakan salah satu bangunan kuno favorit saya. Terutama saya amat suka berada di halaman depannya yang luas. Yang---sayang sekali--kini lebih sering penuh dengan mobil dan motor.

Spot favorit saya adalah jembatan kecil yang tepat berhadapan dengan pintu masuk ke kompleks museum. Wow! Bilamana berdiri di situ dan memandang ke selatan, perasaan ini langsung melangit dan melangut. Imanjinasi pun mendadak beterbangan tak kartuan. Melayang-melayang jauh ke masa silam.

Mengapa mesti menghadap ke selatan? Sebab pada arah tersebut akan terlihat pula beberapa bangunan kuno yang lainnya. Yang sama megah dengan Vredeburg. Jadi rasanya, saya seperti hidup pada masa kolonialisme Belanda. Merasa jadi seorang noni Belanda yang cantik jelita tiada tara ....

Seorang Pria Berpakaian Serba Putih

Imajinasi lebay saya hancur lebur gara-gara bunyi klakson yang tak bersahabat dengan telinga. Saya pun tergeragap. Kembali sadar bahwa diri ini bukanlah seorang noni Belanda. Huft. Faktanya, saya hanyalah seorang calon peserta acara peluncuran dan talkshow sebuah buku mengenai kereta api di Indonesia. Haha!

Ya. Siang itu saya memang hendak menghadiri sebuah acara yang kedengarannya lumayan menarik. Yang lumayan bikin saya melit alias kepo. Adapun acara yang saya maksudkan--sebagaimana telah disinggung di atas--adalah Peluncuran dan Talkshow Buku KERETA API di INDONESIA Sejarah Lokomotif Uap.

Walaupun sejujurnya belum tahu sama sekali mengenai buku, penerbit, dan penulisnya, saya berusaha keras untuk datang. Apalagi lokasi acara sepelemparan batu saja dari rumah. Dan berhubung acaranya terkait dengan buku, siapa takut?  

Yang bikin saya takut itu justru seorang pria tinggi besar, yang berkostum serba putih. Termasuk topinya. Meskipun hanya melihatnya sepintas lalu dari kejauhan, napas saya sempat tertahan sesaat. Tentu sembari bertanya-tanya dalam hati, "Itu siapa? Seseorang yang berkostum ala zaman kolonial atau hantu?"

Ketika acara dimulai, barulah saya ngeh. Yang berkostum putih-putih tadi bukanlah hantu melainkan Kak Hari Kurniawan, sang pengamat sejarah. Beliau mengenakan seragam pegawai kereta api pada masa kolonial Belanda dulu. Konon atas permintaan tim penulis KERETA API di INDONESIA Sejarah Lokomotif Uap.Hmmm. Baik hati sekali, ya? Manutan banget.  Saya suka, saya suka. Haha!

Namun terbukti, Kak Hari bukan hanya piawai berpakaian ala pegawai jawatan kereta api zaman kolonial Belanda. Yang paling bikin terkesima adalah kepiawaiannya dalam menjelaskan sejarah perkeretaapian di Indonesia beserta detil rute-rutenya. Sungguh, penjelasan lugasnya membuat saya mendadak rindu. Rindu? Iya, rindu pada rute-rute kereta api tempo doeloe. Yakni ketika masih dikelola oleh perusahaan-perusahaan kolonial Belanda.

Melalui penuturan Kak Hari, saya jadi tahu pula bahwa mitos Lawang Sewu di Semarang sana salah kaprah. Bangunan yang kondang dengan keangkerannya itu kerap dikabarkan sebagai tempat penyiksaan tawanan perang. Eh, ternyata bukan. Tahukah Anda? Lawang Sewu itu rupanya merupakan bekas kantor salah satu perusahaan kereta api semasa kolonial Belanda.

Salah satu perusahaan kereta api? Iya, salah satu. Pada masa itu di bumi Nusantara memang terdapat 19 perusahaan kereta api. Tidak seperti sekarang yang hanya dikelola oleh P.T. KAI. Itulah sebabnya dalam satu kota bisa terdapat lebih dari satu stasiun. Misalnya Jogja yang punya Stasiun Lempuyangan dan Stasiun Tugu; Solo yang punya Stasiun Solo Balapan dan Stasiun Purwosari.

 Singkat cerita, siang hingga sore itu saya mendapatkan banyak pengetahuan baru terkait eksistensi kereta api di Indonesia. Yang ternyata pada tahun 2017 ini, sudah mencapai bilangan ke-150. Luar biasa, ya? Betapa telah jauh jarak waktu yang kita tempuh ....

buku-kai-6-59859f1076698f2de9570123.jpg
buku-kai-6-59859f1076698f2de9570123.jpg
Referensi Terlengkap

Kak Hari mengakui bahwa buku KERETA API di INDONESIA Sejarah Lokomotif Uap merupakan referensi berbahasa Indonesia terlengkap mengenai kereta api di Indonesia. Terkhusus buku ini merupakan buku berbahasa Indonesia pertama yang mengulas detil tentang lokomotif uap di Indonesia. Segala data dan informasi yang dihimpun tim penulisnya sangat akurat.

Buku bermanfaat ini penuh gambar lokomotif uap. Tentu saja harus begitu, ya. Tapi yang keren, sekitar 85 % dari foto-foto yang terpampang di situ sudah mengantongi izin dari para fotografernya. Ya, tim penulis dengan telaten telah menembusi mereka satu per satu demi meminta izin.

buku-kai-4-59859eb58e63fc53426ed792.jpg
buku-kai-4-59859eb58e63fc53426ed792.jpg
buku-kai-2-59859f6c88575a602e0e3412.jpg
buku-kai-2-59859f6c88575a602e0e3412.jpg
Saya pribadi selaku WNI tentu merasa amat berterima kasih kepada tim penulis. Bukan sebab saya mendapatkan foto lokomotif uap dan voucher sate podomoro, lho. Atau, sebab saya telah bersalaman dengan Kak Hari Kurniawan. Lebih dari sekadar semua keuntungan materi tersebut, saya terutama berterima kasih kepada 3 pemuda yang telah rela berjibaku dengan sekian banyak data sejarah, demi tersusunnya buku mereka itu. Sejuta peluh telah mereka persembahkan untuk negeri ini, melalui sebuah karya yang insya Allah penuh manfaat tersebut.

Saya tahu bahwa pujian bukanlah tujuan utama mereka untuk melahirkan karya tersebut. Tapi faktanya, apa yang mereka lakukan sangat layak kita puji. Setidaknya pihak KAI sendiri mengucapkan terima kasih atas lahirnya buku itu. Iya, deh. Semoga semua pegawai P.T. KAI diwajibkan membaca buku karya Yoga Bagus Prayoga, Diaz Radityo, dan  Y . Sapto Prabowo. 'Kan bisa lebih laris tuh bukunya kalau diborong oleh P.T. KAI. Haha!

O, ya. Kalau saya punya harapan tersendiri. Begini. Saya betul-betul berharap bahwa hadirnya buku tersebut mampu menginspirasi P.T. KAI untuk menghidupkan lagi jalur-jalur kereta api yang telah mati, tapi relnya masih utuh. Bukan semata-mata demi "menjalankan perintah", melainkan dengan semangat untuk meraup keuntungan ekonomi. Mungkin sulit direalisasikan, ya? Tapi kalau masih bisa diupayakan, kenapa tidak?

Siapa yang Membersamai Saya Itu?

Acara telah usai dengan manis. Saya pun pulang dengan senyum manis karena membawa buah tangan berupa voucher makan dan foto lokomotif uap berbingkai indah. Tapi ada sejuta tanya di benak yang tak hilang hingga sekarang. Setelah melewati pintu gerbang Vredeburg, saya diantar oleh seseorang menuju ruang acara. Seseorang berwajah pucat. Katanya dia merupakan salah satu dari tim penulis buku yang akan diluncurkan. Tapi kok, ternyata dia tidak ikut tampil di panggung bersama Kak Hari? Lalu, siapa dia yang langsung menghilang saat saya mengisi daftar hadir?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun