Refleksi Dari Kata ke Aksi
Saya kembali teringat pada jangjawokan nenek:
"Sima aing sima maung, ulah aing nukasima ku maung, tapi kudu maung nukasima ku aing!"
Dulu, kata-kata itu cukup untuk menjaga jarak dan rasa hormat.
Namun kini, jangjawokan saja tak lagi cukup.
Jika kita ingin maung kumbang tidak bernasib sama dengan harimau lodaya, kita harus menciptakan jangjawokan modern, berupa:
- Hutan yang lestari,
- Kearifan lokal bijak yang terjaga,
- Edukasi masyarakat agar mampu hidup berdampingan dengan satwa liar,
- Penegakan hukum bagi pemburu dan perusak habitat.
Karena ketika hutan terakhir hilang, bukan hanya maung yang punah, tetapi juga cerita, simbol, dan kebanggaan yang diwariskan leluhur kita.
Kepunahan berarti kita kehilangan satwa, dan kehilangan identitas dari diri kita sendiri.
Penutup: Suara yang Tak Boleh Hilang
Harimau Jawa mungkin sudah tak ada, tetapi auman dan auranya tetap hidup dalam cerita, simbol, dan identitas budaya.
Maung kumbang masih ada, namun nasibnya kini berada di tangan kita.
Sebagai generasi penerus, kita memegang kendali:
Apakah suara itu akan menjadi auman kemenangan, tanda keberhasilan kita menjaga alam,
atau sekadar bisikan duka dari hutan yang sunyi, tanda penyesalan yang datang terlambat?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI