Pembukaan: Perpustakaan yang Selalu Direbut
Perpustakaan sekolah kami tidak pernah benar-benar sunyi. Dari luar rak-rak buku tampak rapi dan teratur, seolah menjadi simbol keseriusan sekolah dalam menumbuhkan budaya membaca.Â
Namun begitu melangkah ke dalam, suasananya berbeda.
Perpustakaan ini selalu diperebutkan, bukan hanya oleh para pencinta buku, tetapi juga oleh guru, siswa, bahkan pihak luar yang ingin memanfaatkannya untuk berbagai kegiatan.
Saya pun tidak luput dari perebutan itu. Beberapa kali saya membawa siswa untuk latihan lomba film pendek dan membuat podcast. Perpustakaan menjadi pilihan paling logis: nyaman, ber-AC, memiliki stop kontak, dan akses internet yang memadai.
Namun setiap kali saya membawa rombongan siswa ke sana, selalu ada rasa bersalah.
Di satu sisi, kami sedang mencipta karya yang membanggakan sekolah. Tapi di sisi lain, saya tahu ada buku-buku yang hanya menjadi latar belakang sunyi dari aktivitas kami.Â
Pernah suatu kali, seorang siswa yang ingin membaca kecewa karena tidak bisa masuk. Di pintu tertulis, "Ruangan Sedang Digunakan. Maaf Tidak Bisa Masuk." Wajah kecewanya hari itu masih terbayang jelas di ingatan saya.
Momen itu membuat saya merenung.
Apakah perpustakaan hanya akan terus menjadi arena rebutan, atau justru bisa berubah menjadi ruang yang benar-benar hidup?
Masalah Utama: Perpustakaan yang Hanya Jadi "Gudang Buku"
Banyak sekolah menganggap keberadaan perpustakaan sudah cukup dengan menyediakan rak buku dan beberapa meja baca. Padahal, jika fungsinya hanya sebatas itu, perpustakaan hanyalah gudang yang sedikit lebih rapi.
Di era digital seperti sekarang, buku saja tidak cukup untuk menarik minat siswa. Mereka tumbuh di tengah gawai, video pendek, dan aplikasi serba cepat.Â