Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sahabatku Berjuang Melawan Kanker

15 Februari 2023   05:27 Diperbarui: 13 April 2023   13:35 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di bawah pohon kamboja inilah sahabatku dimakamkan. Dokpri

                                                                     

Benar dan memang benar. Apa yang terjadi terhadap manusia tidak bisa diramalkan. Tidak terprediksi. Tidak ada kepastian. Gelap. Lebih tepatnya  misterius!

-----

Cerita ini bisa menjadi alat gugah akan ketidaktetapan dan kerentanan saat menjalani hidup. Hidup mengajarkan banyak peristiwa yang tak terduga--dibanding sebuah kepastian. Lebih dominan ketidakpastiannya. Peristiwa yang terjadi selalu mengejutkan.

Saat sakit tiba-tiba mendera, lalu mengubah semua yang terencana. Atau saat bencana alam datang. Sekejap apa pun bisa terguncang. Dari bahagia menjadi duka lara. Bisa juga sebaliknya. Itulah kehidupan dan pernak-perniknya. Aku ada di dalamnya, kamu juga. Inilah dunia fana itu.

Sahabatku Sakit Kanker

Sahabatku adalah orang baik. Kelewat baik. Aku merasa mengenalnya lebih jauh. Teman bertukar pikiran yang mengesankan. Kami menjalin komunikasi, karena faktor sesama profesi. Pengajar. Sebagaimana saya tahu, beliau pribadi yang santun dan energik. Dirinya menjalani pola hidup sehat; suka berolahraga, serta menjaga asupan makanannya.

Aku ingin menjadikan pengalaman hidupnya sebagai objek berharga. Penghormatan terhadapnya. Buah dari intisari pertemanan yang mengakar kuat. Sebuah pelajaran tentang arti perjuangan. 

Saya yakin secara pribadi beliau tidak keberatan aku menulis tentangnya. Semoga.

Dua bulan yang lalu--Desember 2022--ada keinginan kuat untuk chat ke dia,"Bolehkah perjuanganmu menghadapi sakit saya tulis untuk  bahan renungan? Terutama untuk diriku sebagai sahabatmu?" 

Saat selesai mengetik, dan tinggal mengirim, rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Dan itu berat. Aku bahkan tidak bisa menjelaskan beratnya di mana. Aku merasa itu tidak sopan. Pada akhirnya chat itu tak pernah terkirim. Saya hapus kembali. Berulang begitu. Dan itu menjadi penyesalan terbesarku. Saat ini. Saat menulis ini.

                                                                                                                                  ***

Awal September 2021--saat berbincang di kantor--dirinya mengeluhkan sakit sariawan di bawah lidah yang tak kunjung sembuh. Sudah dua bulan katanya. Berarti mulai Juli dia sakit. Berbagai merk vitamin C dan obat sariawan sudah dikonsumsi. Tak ada perubahan. Penyakitnya makin parah. "Nyeri dan panas saat makan, Mas. Ada benjolan. Aneh sariawan ini"  Tuturnya di depanku dan di depan teman lainnya. 

"Dua bulan lalu, saya disibukkan  Program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Lidahku sakit, tapi saya harus kuat. Cenderung kuabaikan rasa sakit ini. Saya ingin lulus masalahnya, Mas" Pada saat bercerita dirinya sudah dinyatakan lulus PPG.

Kabar dari Surabaya

Sabtu, 7 Oktober 2021 ada chat masuk "Mas, minta doanya. Minggu ini saya akan operasi" Awalnya saya menduga dia operasi usus buntu. Hal lumrah bagi kesehatan manusia, dan masuk dalam kategori operasi ringan. Nyatanya diriku salah. Ada hal serius yang ada pada tubuhnya: kanker lidah.

Aku mencoba browshing, dan aku hanya menghela nafas panjang. Itulah awal dari perjuangan beratnya. Melawan kanker, dan melawan dirinya sendiri agar tidak jatuh dalam kepesimisan akut. Menurut dia yang terakhir yang paling berat.

"Sekian bulan aku sariawan. Tak kunjung sembuh, Mas. Saat ke dokter, awalnya divonis trauma akibat gesekan dengan gigi. Setelah gigi dicabut, luka yang timbul, lama sembuhnya, dan sariawan di lidah semakin parah. 

Setelah berobat ke dokter spesialis, saya disarankan ke Surabaya untuk mendeteksi apakah ini kanker apa tidak. Ternyata ini adalah kanker. Bingo!

 Aku lemas, aku nangis seharian dengan vonis tersebut. Dunia seakan runtuh. Suami juga menangis, baru kali ini aku melihat suamiku menangis, memelukku, dan meminta maaf.

 Aku tidak menyalahkan suami. Tidak sama sekali! Aku hanya bertanya kenapa saya? Kenapa kanker? Umurku masih 34 tahun, punya anak kecil yang butuh perhatian dan kasih sayang!

Hari itu, setelah divonis kanker, malamnya aku tidak bisa tidur. Tulangku seolah tak kuat meyangga tubuh ini. Aku semakin takut saat mencari informasi di google. 

Ceritanya mengerikan untuk saya hadapi. Aku melihat anakku, tebersit 'Nak, maafkan mamamu kalau tidak sampai lama menemanimu'. Aku sesenggukan. Saat itulah saya merasa hidup berada pada titik paling bawah."

Aku tertegun membaca chatnya. Aku bingung mau membalas dengan narasi apa. Sebagai rekan kerja aku hanya ingin dirinya kuat dan tabah, dan mampu melalui tanjakan terjal ini dengan lebih menerima.

Setelah itu, beberapa hari, saya tidak berkomunikasi. Saya disibukkan aktivitas kerja. Sedangkan dia ada di Surabaya. Dia sekali kali memposting selang infus yang ada di lengannya. Aku mengintip historinya.

Aku hanya berkomentar pendek: "Semoga segera pulih kembali ya, Mbak. Kuat dan tabah." 

                                                                                                                                 ***

Sekian bulan setelah operasi aku mencoba untuk menghubunginya. Menanyakan kondisinya. Aku berharap ada kabar baik. "Mbak, gimana kabarnya?" Chat itu begitu lama saya pikirkan. Pertanyaan semacam itu--seolah normal--namun punya dampak lain jika ditanyakan ke penderita kanker. Antara saya kirim atau enggak. Akhirnya kuberanikan untuk mengirimnya. Sudah sekitar dua bulanan dia menghilang di media sosial. 

Kami sebagai rekannya tetap memantau. Kami saling menanyakan kondisi terbarunya. Namun hasilnya tetap seragam tidak ada yang tahu pasti.

Hingga pada akhirnya chatku ada balasan,

"Tubuhku semakin lemas, leherku serasa terbakar. Untuk menelan saja sakit luar biasa. Semua makananku harus berwujud cair. Semua harus dijus. Tak terkecuali nasi. Aku tidak bisa menikmati tidur. Terkadang menjelang pukul 04.00 pagi hari aku bisa terpejam, itu pun tidak lama. 

Itu yang aku rasakan setiap hari, Mas. Setelah operasi saya pikir, akhir dari perjalanku ke Surabaya, ternyata TIDAK! Aku harus disinar untuk membunuh sel-sel kanker yang ada. 30-an kali aku harus disinar. Awalnya tidak apa-apa. Namun, lama kelamaan leherku seperti terbakar. Kulit kering bersisik. Emosiku labil, gairah hidup seakan semakin pudar. Nafsu makan menghilang. Penderitaan ini membuat semangatku luntur"

Aku tertegun, ada rasa prihatin yang dalam. Ingin rasanya menjenguk dan bersenda gurau hanya untuk sekadar menghiburnya. Namun, dirinya menolak dengan halus dan hanya ingin didoakan.

"Terima kasih banyak, aku senang ada yang jenguk, tapi aku akan menderita saat teman-teman ikutan berduka melihat kondisiku sekarang. Selain itu, imun tubuhku sangat rendah, Mas. Maaf!

 Beberapa kali aku Covid. Aku tidak mau seperti itu. Doa sampean dan dari sahabat lainnya, lebih dari cukup saat aku seperti ini. 

Aku tidak seperti dulu lagi. Saya yakin dirimu akan sedih jika melihatku. Ucapanku cedal tidak sempurna, wajahku tidak seperti 4 bulan lalu. Saat terakhir bersua di kantor. Aku orang yang berbeda. Aku berbeda, Mas.

Aku tidak lagi bisa berbicara secara normal. Lidahku sebagian dipotong untuk menghilangkan kanker yang merambat. Aku kehilangan pelafalan beberapa huruf. 

Kadang aku tak sanggup membayangkan jika harus kembali bertemu dengan teman lainnya. Apakah mereka akan menertawakanku? Aku guru Mas, suara adalah modalku. Apa yang Mas lakukan jika jadi aku?" Ada nada protes kuat pada dirinya.

Lalu dia mengirim foto terbarunya. Tubuhnya terlihat kurus. Aku tidak mampu menjawabnya. Aku tak kuasa menyeka air mata yang tiba-tiba menetes. 

Aku mengamati daun jatuh yang diterpa angin, aku merasa ada hembusan angin yang menerpa wajah. Rasa dingin yang lebih dingin dari biasanya.

Ingatanku membayangkan dirinya mampu bergerak ke sana ke mari dengan aktivitas yang padat. Aku juga selalu ingat kebaikannya. Sahabat yang sering bertukar pikiran. Sahabat yang selalu murah senyum dan ringan tangan membantu rekan-rekannya. Dirinya pribadi yang supel dan hangat.

"Bobotku terus turun, tak kuasa lagi aku mengerem penurunan ini. Kalau malam aku sering down, semangat hidupku hilang. Apa aku sanggup untuk hidup? Aku tidak kuat merasakan sakit yang intens sepanjang waktu. Aku lelah, Mas! 

Namun, anakku, suamiku, ibuku, bapakku dan sahabat yang selalu mendukungku adalah pendorong untuk selalu kuat dan tabah. Aku ingin katakan: aku tidak kuat sebenarnya. Tapi aku harus kuat. Aku harus kuat!

Kapan matahari muncul dan tenggelam, aku tidak tahu. Entah ini hari apa atau tanggal berapa. Aku abai tentang itu. Seolah waktu bergerak sangat lambat. Berhenti untuk menghukumku.

Sakit di tubuh ini mengalihkan kenikmatan banyak hal. Bahkan untuk tidur menjadi siksaan tersendiri. Bayangkan; tidur dan makan, sudah bukan lagi hal terindah dalam hidup.

Aku merasa waktuku bergerak mundur, hanya menghitung waktu, Mas. Kelak jika aku pergi, jangan lupa setiap sholat kirimi aku fatihah ya. Biar aku tenang"

Aku sedih mendengar ceritanya. Aku hanya berdoa semoga ada keajaiban agar dirinya mampu bertahan dan bisa sehat dan pulih kembali. Sebuah keajaiban itu ada. Ketidakmungkinan selalu muncul, tidak terprediksi. Aku meyakini itu. Aku membuang jauh-jauh kepesimisan tentang kanker.

Aku sangat berharap melihatnya bersama dengan anak-anaknya dan suaminya main ke kantor lagi. Berbagi cerita bagaimana menangani anak-anak saat belajar atau cerita tentang banyak hal. Yang mengundang tawa maupun hura hara.

September 2022 

"Mas, aku batuk tak kunjung reda. Hampir tak berjeda. Aku terkadang sesak nafas hebat. Aku tidak tahu ini apa. Apakah alergi dingin, atau alergi debu. Aku rasa tidak. 

Kesakitan yang luar biasa saya alami setiap waktu. Ibu selalu memberiku air jahe untuk meredakan batuk. Tapi tak ada perubahan. 

Aku mengisolasi diri di rumah. Menghindari anak-anak. Aku kangen tapi tidak mau menulari anak-anak. Sakitku bertambah, mungkin Allah sayang sama aku, Mas. Aku sedang dibersihkan" 

Oktober 2022

"Kanker telah merambat ke paruku. Paruku yang berkabut, ternyata itu kanker. Belum selesai yang satu. Muncul yang lain. Aku ingin nyerah, Mas. Aku tak berdaya dengan ini semua. Sekali lagi, jika ini takdirku jangan lupa ingat aku. Maaf jika ada salah dariku selama ini".

Desember 2022

"Untuk berdiri saja aku tak sanggup, Mas. Aku beraktivitas harus menggunakan kursi roda. Rasanya sakit sekali tubuh ini. Sakitnya di mana? Aku bingung menjawabnya. Ini sakit semua. 

Aku kasihan dengan suamiku. Dengan telaten dia merawatku, dan memberi nasehat untuk selalu yakin dengan kesembuhan. Aku merasa bersalah dengan anak-anak. Aku tidak bisa lagi menopang kesehariannya. Aku mencintai penuh suami dan anak-anakku. Mereka adalah surgaku. Surgaku! Tapi aku sudah tidak kuat menjalani ini semua"

Aku membalas dengan emoticon nangis. Aku tak mampu membuat narasi untuk menghiburnya. Aku mengakhiri chat hari itu dengan pikiran ke mana-mana. "Tetaplah kuat nggih, Mbak. Lihat anak-anak. Semoga Gusti Allah memberi kesembuhan segera. Amin"

Di Bawah Pohon Kamboja

Minggu, 8 Januari 2023. Pukul 10.26 WIB ada chat masuk dari nomornya.

"Assalamualaikum Pak Agus, Saya suami Bu Indah. Innalillahi waina ilaihi rojiun, Bu Indah pagi ini sudah berpulang Pak Agus. Dan sekarang perjalanan ke Banyuwangi. Rencana dimakamkan di Temuguruh"

Aku tertegun. Kubiarkan air mata menetes. Terbayang terakhir bincang-bincang. Beliau memberi nasehat yang tidak seperti biasa. "Hidup itu hanya sawang sinawang Mas," kata itu yang selalu saya ingat. Terngiang setelah dirinya tiada.

Dirimu telah memberi satu pandangan utuh. Sikap tegar di tengah kecamuknya pikiran akan sakit dan penderitaan. Tidak semua orang mampu menjalani, tidak semua orang mampu menerima perubahan ekstrem kondisi kesehatan.

Aku membatin, aku kagum, akan segala hal yang kamu kisahkan. Bisa jadi ada ribuan orang bernasip sama, meneteskan air mata dan kesepian paling menakutkan: merasa tak berguna. 

Kuseka air mata, aku janji dalam hati akan mengantarkan sampai ke kuburnya. Ke tempat peristirahatan terakhirnya. Sore hari, aku dengan istri melajukan motor menuju Temuguruh. Aku ingin ikut menggotongnya, menyolatkan dan mengiringi ke makam. Aku janji.

Sampai di rumah duka, saya masuk di antara kerumunan keluarga inti yang menangis. Aku melihat ibunya menangis, aku segera menyalami ibunya. "Sinten Panjenengan?" aku menjawab dengan lirih. "Kulo rencange Mbak Indah Ibu, rencange ngajar" 

Saat almarhumah akan dimasukkan ke keranda. Kakiku segera bergerak maju, menyongsong dengan dua tanganku. Aku mengulurkan dua tangan untuk menopang tubuhnya yang berbalut kain kafan warna putih. Seolah aku berjabat tangan dengan dia. Sebagai ucapan perpisahan. Aku berbisik dalam hati "Mbak, ini aku, temanmu"

                                                                                                      ***

Di antara pohon kamboja yang menaungi makam, aku melihat saat dirinya kembali ke tanah. Suara muadzin di dalam liang lahat menyayat hati, memicu tangis anaknya, suami, kerabat dan sahabat.

Aku menatap kepergiannya. Kupandangi langit sore itu. Awan hitam bergerak lambat. Mataku mendung, seolah ingin menumpahkan rasa kehilangan yang mencekam. Aku berada dalam sebuah kisah perjalanan dan perjuangan salah satu anak manusia. Rekanku. Sahabatku.

Kuletakkan dua tanganku di pusaranya. Merasakan tanah tempat dirinya bersemayam selamanya. Tanah yang masih hangat.  Tempat kedamaian, mengakhiri kisah perjalanan yang menyakitkan. 

Dia kembali ke asalnya. Dari tanah kembali ke tanah. Kita semua akan sama. Dengan derajat penuh kita akan mengalaminya. Menjadi serpihan-serpihan dari semesta. Lalu hilang terurai. Tapi tidak untuk jejak tapak yang ditinggalkan.

Kini aku menyadari, atau baru memahami tentang lagu Alan Walker, faded, yang sering dia putar. Berkali-kali. Berulang-ulang.

Where are you now?

I'm faded

So lost, I'm faded

Kupandangi istriku, kuraih tangannya. Aku merasakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang sangat dalam dan sakral. Dari keberadaanku dan istriku. Di bumi ini. Sebuah cinta yang membuncah. "Semoga aku bisa menemanimu sampai tua, Ma. Jangan tinggalkan aku". Aku membatin.

Semoga kedamaian memelukmu, Mbak Indah. Alfatihah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun