Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sahabatku Berjuang Melawan Kanker

15 Februari 2023   05:27 Diperbarui: 13 April 2023   13:35 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Bawah Pohon Kamboja

Minggu, 8 Januari 2023. Pukul 10.26 WIB ada chat masuk dari nomornya.

"Assalamualaikum Pak Agus, Saya suami Bu Indah. Innalillahi waina ilaihi rojiun, Bu Indah pagi ini sudah berpulang Pak Agus. Dan sekarang perjalanan ke Banyuwangi. Rencana dimakamkan di Temuguruh"

Aku tertegun. Kubiarkan air mata menetes. Terbayang terakhir bincang-bincang. Beliau memberi nasehat yang tidak seperti biasa. "Hidup itu hanya sawang sinawang Mas," kata itu yang selalu saya ingat. Terngiang setelah dirinya tiada.

Dirimu telah memberi satu pandangan utuh. Sikap tegar di tengah kecamuknya pikiran akan sakit dan penderitaan. Tidak semua orang mampu menjalani, tidak semua orang mampu menerima perubahan ekstrem kondisi kesehatan.

Aku membatin, aku kagum, akan segala hal yang kamu kisahkan. Bisa jadi ada ribuan orang bernasip sama, meneteskan air mata dan kesepian paling menakutkan: merasa tak berguna. 

Kuseka air mata, aku janji dalam hati akan mengantarkan sampai ke kuburnya. Ke tempat peristirahatan terakhirnya. Sore hari, aku dengan istri melajukan motor menuju Temuguruh. Aku ingin ikut menggotongnya, menyolatkan dan mengiringi ke makam. Aku janji.

Sampai di rumah duka, saya masuk di antara kerumunan keluarga inti yang menangis. Aku melihat ibunya menangis, aku segera menyalami ibunya. "Sinten Panjenengan?" aku menjawab dengan lirih. "Kulo rencange Mbak Indah Ibu, rencange ngajar" 

Saat almarhumah akan dimasukkan ke keranda. Kakiku segera bergerak maju, menyongsong dengan dua tanganku. Aku mengulurkan dua tangan untuk menopang tubuhnya yang berbalut kain kafan warna putih. Seolah aku berjabat tangan dengan dia. Sebagai ucapan perpisahan. Aku berbisik dalam hati "Mbak, ini aku, temanmu"

                                                                                                      ***

Di antara pohon kamboja yang menaungi makam, aku melihat saat dirinya kembali ke tanah. Suara muadzin di dalam liang lahat menyayat hati, memicu tangis anaknya, suami, kerabat dan sahabat.

Aku menatap kepergiannya. Kupandangi langit sore itu. Awan hitam bergerak lambat. Mataku mendung, seolah ingin menumpahkan rasa kehilangan yang mencekam. Aku berada dalam sebuah kisah perjalanan dan perjuangan salah satu anak manusia. Rekanku. Sahabatku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun