Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Teori Evolusi Darwin, UMKM dan JNE

24 Desember 2021   09:55 Diperbarui: 24 Desember 2021   10:02 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelaku UMKM membutuhkan kolaborasi dari berbagai sektor, untuk menumbuhkembangkan usaha (gambar: kompas.com)

             

Spesies yang mampu beradaptasi akan lestari, yang gagal akan punah: menjadi fosil di bebatuan seolah memberi pesan "kami pernah ada". Begitu pandangan Charles Darwin dalam bukunya Origin of Species.

                                                                                                                                                                 ----

Tidak berbeda dengan spesies manusia dalam perjuangan hidupnya. Setiap waktu dikejutkan dengan perubahan. Munculnya penemuan baru yang merombak jalannya interaksi manusia dan semua kelembagaan yang ada di dalamnya--sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Manusia dihadapkan pada pilihan: beradaptasi untuk lestari atau enggan berubah, risiko berakhir punah.

Pun dengan cara berniaga. Beda zaman beda cara dan selera. Dulu, cara berniaga cukup dengan membuka toko dalam wujud fisik; mengiklankan di koran, radio atau televisi. Itu sudah cukup atraktif, bisa menarik orang untuk datang dan membeli: terjadilah transaksi, lalu keuntungan mengikuti. Saat ini kondisinya berubah. Teknologi memungkinkan orang untuk membeli barang sambil tiduran; sambil ngopi, baca buku atau kegiatan lain yang tidak perlu beranjak menggerakkan kaki.

Mendatangi toko konvensional tidak lagi menarik. Mulai ditinggalkan--kalaupun masih ada, intensitasnya semakin berkurang. Terkesan membuang waktu dan tenaga. Bagi penjual yang mampu memanjakan pembeli, jualannya pasti menarik hati. Siapa sih yang tidak ingin dimanja? Membeli tanpa harus datang, barang pun juga diantar, tanpa ribet dengan urusan pembayaran. Naluri pembeli semua sama: ingin dimudahkan, dilayani bak seorang putri.

Adaptasi UMKM

Nyawa dari sebuah usaha adalah inovasi. Banyak contoh tumbangnya perusahaan "kelas dinosaurus" yang hanya berdiam diri tanpa inovasi. Akhirnya mengibarkan bendera putih: Memfosil! Menurut Darwin--naturalis Inggris--ibarat jerapah berleher pendek yang mati karena tidak mampu menjangkau daun di habitat baru yang didominasi tumbuhan tinggi.

Perubahan selalu menumbangkan yang terlena dan menumbuhkembangkan yang mampu berbenah. Darwin menyebutnya survival of fittest (sintasan yang terbugar).

Di era pandemi ini, agar mampu bertahan dan tumbuh, dibutuhkan upaya penuh membaca lingkungan yang berubah. Termasuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Segera berbenah agar tidak ikutan punah. Caranya; Pertama: mengemas barang dagangan untuk dipasarkan di marketplace atau media sosial yang sering diakses oleh banyak orang. Dengan cara itu, ada upaya transformasi, menangkap peluang dan memperluas jangkauan pasar. Kedua: Memberi kemudahan dalam bertransakasi bagi pembeli. Ketiga: meningkatkan kualitas produk. Pembeli harus puas dengan barang yang dibeli. Ketika ada keluhan dari pelanggan harus langsung ditanggapi. Harus ada interaksi selain transaksional, antara pembeli dan penjual. Penjual harus melakukan interaksi aktif. Semisal menanyakan kondisi barang, apakah sesuai dengan keinginan pembeli atau belum. Keempat: bergabung dengan komunitas pelaku usaha sejenis untuk berbagi keahlian dan pengetahuan. Kelima: berkolaborasi dengan jasa pengiriman barang yang terpercaya.

Munculnya pasar online membutuhkan jasa pengiriman barang yang terpercaya. Pengganti dari aktivitas pembeli, mendatangi pasar secara langsung. Esensinya sebenarnya tidak ada yang berubah. Transaksi tetap, ada penjual ada pembeli, ada barang yang dijual. Cuma beda tempat jualannya dan cara membelinya. 

Sekarang barang dipajang di pasar online (marketplace), tanpa perlu berkunjung. Pembeli bisa memilih barang dengan kepuasan yang sama, sebagaimana memilih secara offline. Pembayarannya pun bisa fleksibel. Bisa cash, bisa juga lewat transaksi elektronik. Jika penjual berbuat curang maka tidak akan lama usahanya.

Transformasi Bertahan Hidup

Pandemi Covid-19 telah mengoyak banyak pelaku usaha, berimbas besar pada ekonomi rumah tangga. Saya dan keluarga juga mengalami kondisi sulit saat pandemi mendera. Usaha yang saya geluti di dunia pendidikan--bimbingan belajar--tertekan dan limbung. Sekolah tatap muka dihentikan, pergerakan orang dibatasi, perputaran uang seolah berhenti. Belajar daring jadi solusi.

Keunggulan kami di offline kurang menarik lagi--sepi peminat karena berbenturan dengan kebijakan PPKM. Akibatnya jumlah siswa tergerus, keuangan perusahaan minus, pemotongan gaji karyawan dan pemutusan hubungan kerja terjadi: tidak terkecuali diri ini.

Mau tidak mau, suka tidak suka semua harus diterima. Usaha saya mengais rupiah harus berhadapan dengan pengadilan yang bernama perubahan. Seolah saya dipukul KO protein aktif dan primitif, yang bernama Covid-19. Saya sebagai pelaku jasa bimbingan belajar, sebagaimana jerapah, atau burung finch dalam bukunya Darwin:  beradaptasi atau punah. Seleksi alam sedang terjadi, berwujud pandemi yang memicu resesi ekonomi.

Pandemi dan dampaknya seolah tidak terprediksi. Begitu saja muncul mengobrak-abrik tatanan yang sudah ada: Memfosilkan banyak usaha yang semula digdaya dalam sekejab membatu, seolah tak pernah ada.

Sebagai kepala rumah tangga, saya punya istri dan anak. Ada rasa tanggung jawab besar untuk tetap bertahan. Menjaga dapur tetap berasap, piring tetap berdenting serta kopi tetap tersaji. Sungguh ini tantangan.

Hingga pada pertengahan 2020 saya berdiskusi secara mendalam dengan Istri. "Ma, apa yang harus kita lakukan untuk bertahan?" Tak beberapa lama istri menjawab"Kita berdagang Pa, apa pun yang bisa dijual" Akhirnya kami memutuskan mencari tambahan dengan berjualan.

Singkat cerita istri menjadi reseller produk kecantikan, obat-obatan pertanian, pakaian dan berbagai jenis barang yang laku dijual. Apa pun asal legal tidak melanggar aturan pemerintah. Sedangkan diriku memfokuskan pada keahlian, melanjutkan mengajar di rumah dengan membuka kelas SD-SMP. Serta tetap berusaha menghidupkan perusahaan Bimbingan Belajar dengan berbagai inovasi untuk menggeliatkan perolehan siswa.

Setiap hari istri membuat postingan barang dagangan di media sosial. Dalam seminggu berjalan hasilnya belum memuaskan. Apa yang kami bayangkan tidak sesuai kenyataan. Namun, lama-kelamaan apa yang kami lakukan mendapat respon. Setidaknya ada yang menanyakan harga. 

Dan dua bulan dari kami menjadi reseller ada pesanan barang dari tanah Papua. Minta kiriman barang produk kecantikan dan obat pertanian. Jumlah lumayan besar untuk ukuran usaha rintisan kami yang hanya bermodal "uang banting celengan tanah liat". Yang pesan adalah saudara sendiri yang mukim di sana.

Jelas, kami senang. Pesanan tersebut segera kami tindak lanjuti. Kami kemas dengan sebaik baiknya, lalu kami berboncengan naik motor menuju jasa pengiriman terdekat dari lokasi kami tinggal. Ya, jasa pengiriman barang yang terdekat dari rumah adalah JNE. Kurang lenih seminggu dari pengiriman ada chat WA dari saudara di Papua yang mengabarkan bahwa kirimannya telah sampai dengan baik. Kami bersyukur, apa yang kami lakukan membawa kepuasan terhadap pelanggan pertama luar pulau. Ada keuntungan yang bisa kami nikmati, ada kepuasan yang kami rasa.

Pelan-pelan usaha yang kami rintis, mulai menunjukkan hasil. Banyak pesanan dari kolega. Intensitasnya mulai sering, meskipun tidak besar tapi cukup membantu tambahan penghasilan di tengah pandemi ini.

Lambat namun pasti, pada akhirnya, kami bisa bertransmutasi. Ibarat spesies hewan air yang mengandalkan air, akhirnya merayap di darat dan seiring waktu bisa berjalan tegak tanpa lagi tergantung di habitat air. Kami seolah mengganti alat nafas dari ingsang menjadi paru-paru. Saya menganggap kami berevolusi yang didorong mesin pandemi.

JNE dan Pengalaman Pertama.

Kesan pertama adalah kunci selanjutnya. Menurut teori psikologi, orang tidak akan menghilangkan kesan pertama. Kesan pertama bernuansa sakral dan magis: menancap kuat dan susah sekali hilang. Itulah yang terjadi dengan usaha yang kami rintis. JNE ibarat membuka jalan, sebagaimana air hujan yang menumbuhkan biji usaha yang akhirnya tumbuh penuh nutrisi. Entah bagaimana kalau sampai kiriman itu berakhir dengan cacat di tempat tujuan, sehingga harus kami ganti? Disaat dompet kritis--kalau berhasil lanjut kalau gagal, kami akan berhenti.

Keberadaan jasa pengiriman barang (JNE) dan UMKM seperti bunga dan kupu-kupu. Saling membutuhkan satu sama lain. Kami sebagai pelaku UMKM, tetap mempertahankan hubungan itu. Kirim barang apa pun akhirnya pilihan jatuh ke JNE. Dan sekarang dimudahkan dengan adanya layanan antar jemput. Kami tidak usah lagi membawa barang ke kantor JNE. 

Kepercayaan kami akhirnya menular ke kakak ipar yang punya usaha konveksi skala rumahan. Usahanya mulai tumbuh berkembang saat Kakak menjual berbagai hasil karyanya ke media sosial. Pesanan mulai mengalir bahkan ada yang dari luar pulau.

Kolaborasi bukan Kompetisi

Jasa Pengiriman Barang (JNE) dan UMKM di Indonesia saat ini boleh dikata saling mengisi. Ditakdirkan membentuk hubungan smutualisme; saling menguntungkan satu sama lain. UMKM akan terus  bertahan dan tumbuh jika usahanya ditopang jasa pengiriman yang terpercaya. Begitu juga sebaliknya. 

Di tengah digitalisasi ekonomi, pembeli bisa menjadi subjek promosi gratis. Namun bisa menjadi penyebab kehancuran usaha. Jika pembeli puas, memungkinkan menceritakannya di media sosial. Namun, ketidakpuasan satu pelanggan bisa menjadi sebab hengkangnya pelanggan berikutnya.

Satu hal yang akhirnya aku catat, jasa pengiriman barang (JNE) ibarat jembatan penghubung antara produsen dan konsumen. Sebagai katalisator. Sebuah solusi dan adaptasi dari kondisi pandemi yang membelenggu pergerakan kaki.

Pandemi, seperti mengajari Homo sapiens untuk bergotong royong, berbenah dan berinovasi. Banyak postingan jualan di media sosial. Menunjukkan, berubahnya tempat berdagang. Bertahan hidup menemukan jalan keluarnya. Media online menjadi lapak baru, dan juga harapan baru. 

Saya dan istri biasanya mengagendakan membeli barang dagangan dari teman. Mulai ayam bakar, sambal pecel, jamu, baju anak-anak, buah-buahan dan juga bumbu-bumbu dapur. Kami yakin dengan saling membeli barang dagangan setidaknya, kami semua akan mampu berdamai dan beradaptasi dengan kondisi perubahan zaman ini. Menggerakkan ekonomi yang stagnan. Kita semua tidak tahu kapan berakhirnya. Tapi semua pastinya akan berlalu.

Selain itu dalam kondisi pandemi ini alangkah bijaknya mengutamakan membeli kebutuhan dari warung di kanan kiri rumah. Meskipun harganya lebih mahal, selisih lima ratus atau seribu perak, pastinya akan berguna bagi pelaku usaha. Mereka nasibnya juga sama dengan kita semua, yang tergerus pandemi. 

Beradaptasi itu tidak mudah, ada rasa sakit yang membuncah. Namun, karena kita mengalami hal yang sama, pada akhirnya kita merasa senasib. Maka solusinya adalah  bergotong royong.

Pandemi ini bukanlah waktu yang tepat untuk berkompetisi. Disadari atau tidak kompetisi akan menciptakan pemenang dan pecundang. Satu bersorak, satu pucat tergeletak tak bergerak. 

Saat seperti ini, dibutuhkan adalah kolaborasi, saling mendukung satu dengan lainnya. Sebagaimana JNE dan UMKM yang ditakdirkan untuk berkolaborasi. Sebagai penghubung kebahagiaan dan kesalingtergantungan. Agar perjuangan hidup berakhir kemenangan, bukan kepunahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun