Sejauh pengalaman saya, dalam kacamata manajemen risiko, kesalahan diagnosis bisa berakibat fatal. Begitu pula dalam kritik politik: tanpa kemampuan membedakan fakta dan opini, kritik berubah menjadi spekulasi.
Sebenarnya, fakta itu bisa diverifikasi, dengan data anggaran, isi undang-undang, hingga hasil audit. Opini adalah interpretasi yang sah, tapi harus jelas pemberian labelnya. Sayangnya, disiplin ini mulai langka di era media sosial. Hasilnya, kian parah karana "keyakinan pribadi" sering diangkat seolah jadi kebenaran mutlak.
Menjaga Objektivitas dan Perspektif Berimbang
Objektivitas bukan berarti tanpa pendapat, melainkan memastikan pendapat dibangun di atas analisis yang adil. Jujur, sesuai fakta, dan berimbang. Ada check, recheck, dan crosscheck.
Kritik yang hanya menyoroti satu pihak, tanpa mengakui kebaikan atau kekurangan pihak lain, mudah dicap partisan. Bagi jurnalis dan warga yang kritis, menjaga keseimbangan ini ibarat mengemudi di jalan licin: perlu konsentrasi penuh agar tidak tergelincir ke kubu tertentu. Juga agar obyektif dan tidak terkesan pengkritik terafiliasi pada kelompok tertentu.
Menghindari Insinuasi dan Retorika Manipulatif
Insinuasi punya arti sebagai tuduhan tersembunyi, tidak terang-terangan, atau tidak langsung; sindiran. Insinuasi adalah senjata retoris yang tampak halus, tapi merusak. Sayangnya, ia sering digunakan untuk menanamkan kecurigaan tanpa bukti konkret. Persis seperti menyebar asap tanpa api.
Sayangnya pula, insinuasi sering dipakai untuk "memainkan persepsi" publik karena mudah viral. Padahal, sekali integritas kritik tercemar insinuasi, kredibilitasnya runtuh, dan pesan substansial akan tenggelam di tengah prasangka.
Menggunakan Bahasa yang Profesional dan Tidak Provokatif
Bahasa adalah kendaraan pesan. Jika kendaraannya reyot, seperti penuh caci, sarkasme, atau hinaan, maka pesan yang dibawa akan mogok di tengah jalan.
Bahasa profesional tidak berarti datar; ia tetap bisa tajam, tapi menusuk tepat sasaran. Kritik yang disampaikan dengan sopan dan berbasis data, akan lebih sulit ditolak secara rasional, bahkan oleh pihak yang dikritik.
Menjaga Konsistensi dalam Prinsip dan Standar
Konsistensi adalah ujian moral. Kritikus yang hanya vokal terhadap lawan, tapi bungkam saat sekutunya berbuat salah, ia akan kehilangan otoritas moralnya. Ia hanya "petugas lapangan" saja. Penggiring opini, dan tak punya kredibilitas profesional.
Di dunia kebijakan publik, ketidak-konsistenan ini setara dengan membangun jembatan di satu sisi sungai, tapi membiarkan sisi lainnya ambruk.
Membuka Ruang untuk Dialog dan Kritik Balik
Kritik yang sehat tentu saja bukanlah yang monolog, karena itu undangan untuk berdiskusi dan temu pendapat akan jadi media dan solusi yang lebih baik. Sayangnya, media sosial sering menjebak kita dalam echo chamber, tempat kita hanya mendengar suara yang sama. Akibatnya, asal sehati aja, maka "tak sadar" kata-kata pun berhambur dengan emosi atau rasionalisasi.