Kritik yang lahir dari keberanian dan integritas adalah napas yang menjaga demokrasi tetap hidup.
Di negeri yang mengaku demokratis, kritik seharusnya menjadi vitamin bagi kekuasaan, bukan racun bagi pengkritiknya. Namun, belakangan ini, udara demokrasi terasa makin tipis. Satu kalimat salah tafsir, satu unggahan yang dibaca berbeda, bisa menjadi tiket menuju ruang interogasi. Di media sosial, kita melihat warganet saling mengingatkan, atau saling menakut-nakuti. Dan terlontarlah kalimat klise: "Hati-hati kalau bicara politik, bisa panjang urusannya."
Tak sedikit juga yang berbisik, "Mengkritik itu sah, tapi siap-siap saja kalau dipanggil, dimintai keterangan atau klarifikasinya." Bahkan, narasi yang lebih ekstrem sudah mengakar: pengkritik bisa dijebloskan ke penjara. Lalu, segala argumentasi pembelaan silakan disampaikan di hadapan majelis hakim saja.
Ah, sebegitu parahkah demokrasi di negeri kita?
Fenomena ini, bukan hanya mengganggu kebebasan berpendapat, tetapi juga mengikis keberanian berpikir kritis. Demokrasi yang seharusnya tumbuh dari ruang dialog, bila begini terus justru bisa terancam layu oleh ketakutan kolektif. Akibatnya, masyarakat bisa terjebak dalam dua kutub ekstrem: mereka yang memilih diam demi aman. Atau mereka yang berbicara lantang tanpa filter, berbekal emosi lebih banyak daripada data.
Padahal, dalam ekosistem demokrasi, kritik politik ibarat oksigen: tak terlihat, namun tanpa itu sistem akan sesak napas. Ia adalah mekanisme check and balance terhadap kebijakan. Pencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan pengingat agar pemimpin tetap selaras dengan mandat publik.
Namun, di era digital yang penuh turbulensi informasi, kritik politik menghadapi ujian paling rumit dalam sejarahnya. Yaitu, bagaimana ia tetap jernih, berbobot, dan tajam, tanpa tergelincir ke jurang bias atau insinuasi yang justru merusak kredibilitasnya?
Itulah yang akan kita bedah dalam tulisan ini: tantangan besar bagi jurnalisme di era digital. Dan bagaimana kita bisa mengedepankan fakta, menjaga integritas, sekaligus melindungi kebebasan berpendapat dari jebakan yang mematikan esensinya.
Digitalisasi: Antara Demokratisasi dan Distorsi
Era digital telah meruntuhkan tembok eksklusivitas informasi. Kini, siapa pun bisa menjadi "wartawan dadakan" hanya dengan kamera ponsel dan koneksi internet. Satu unggahan bisa memicu diskusi nasional, bahkan mengguncang reputasi politisi.
Demokratisasi informasi ini positif, tapi ada sisi gelapnya: distorsi. Celakanya, algoritma media sosial lebih menyukai konten yang memancing emosi ketimbang konten yang memerlukan verifikasi. Akibatnya, opini sering bercampur dengan fakta, dan publik sulit membedakan keduanya. Bagi jurnalisme, inilah paradoks: akses luas, tetapi risiko bias semakin tinggi. Karena itu, mengedepankan prinsip kehati-hatian harus selalu mengiringi.
Memisahkan Fakta dan Opini
Sejauh pengalaman saya, dalam kacamata manajemen risiko, kesalahan diagnosis bisa berakibat fatal. Begitu pula dalam kritik politik: tanpa kemampuan membedakan fakta dan opini, kritik berubah menjadi spekulasi.
Sebenarnya, fakta itu bisa diverifikasi, dengan data anggaran, isi undang-undang, hingga hasil audit. Opini adalah interpretasi yang sah, tapi harus jelas pemberian labelnya. Sayangnya, disiplin ini mulai langka di era media sosial. Hasilnya, kian parah karana "keyakinan pribadi" sering diangkat seolah jadi kebenaran mutlak.
Menjaga Objektivitas dan Perspektif Berimbang
Objektivitas bukan berarti tanpa pendapat, melainkan memastikan pendapat dibangun di atas analisis yang adil. Jujur, sesuai fakta, dan berimbang. Ada check, recheck, dan crosscheck.
Kritik yang hanya menyoroti satu pihak, tanpa mengakui kebaikan atau kekurangan pihak lain, mudah dicap partisan. Bagi jurnalis dan warga yang kritis, menjaga keseimbangan ini ibarat mengemudi di jalan licin: perlu konsentrasi penuh agar tidak tergelincir ke kubu tertentu. Juga agar obyektif dan tidak terkesan pengkritik terafiliasi pada kelompok tertentu.
Menghindari Insinuasi dan Retorika Manipulatif
Insinuasi punya arti sebagai tuduhan tersembunyi, tidak terang-terangan, atau tidak langsung; sindiran. Insinuasi adalah senjata retoris yang tampak halus, tapi merusak. Sayangnya, ia sering digunakan untuk menanamkan kecurigaan tanpa bukti konkret. Persis seperti menyebar asap tanpa api.
Sayangnya pula, insinuasi sering dipakai untuk "memainkan persepsi" publik karena mudah viral. Padahal, sekali integritas kritik tercemar insinuasi, kredibilitasnya runtuh, dan pesan substansial akan tenggelam di tengah prasangka.
Menggunakan Bahasa yang Profesional dan Tidak Provokatif
Bahasa adalah kendaraan pesan. Jika kendaraannya reyot, seperti penuh caci, sarkasme, atau hinaan, maka pesan yang dibawa akan mogok di tengah jalan.
Bahasa profesional tidak berarti datar; ia tetap bisa tajam, tapi menusuk tepat sasaran. Kritik yang disampaikan dengan sopan dan berbasis data, akan lebih sulit ditolak secara rasional, bahkan oleh pihak yang dikritik.
Menjaga Konsistensi dalam Prinsip dan Standar
Konsistensi adalah ujian moral. Kritikus yang hanya vokal terhadap lawan, tapi bungkam saat sekutunya berbuat salah, ia akan kehilangan otoritas moralnya. Ia hanya "petugas lapangan" saja. Penggiring opini, dan tak punya kredibilitas profesional.
Di dunia kebijakan publik, ketidak-konsistenan ini setara dengan membangun jembatan di satu sisi sungai, tapi membiarkan sisi lainnya ambruk.
Membuka Ruang untuk Dialog dan Kritik Balik
Kritik yang sehat tentu saja bukanlah yang monolog, karena itu undangan untuk berdiskusi dan temu pendapat akan jadi media dan solusi yang lebih baik. Sayangnya, media sosial sering menjebak kita dalam echo chamber, tempat kita hanya mendengar suara yang sama. Akibatnya, asal sehati aja, maka "tak sadar" kata-kata pun berhambur dengan emosi atau rasionalisasi.
Membuka ruang dialog itu baik. Baik di forum publik, maupun di liputan media. Ini akan membantu kita memperkaya wacana. Mengapa? Karena, kritik yang memberi ruang bagi bantahan justru memperkuat kredibilitasnya.
Tanpa kritik, demokrasi hanya panggung sunyi bagi kekuasaan
Refleksi: Risiko yang Tidak Disadari
Dari kacamata manajemen risiko, ada dua bahaya yang jarang dibicarakan:
* Risiko legitimasi. Yaitu kritik tanpa dasar faktual sehingga mudah dianggap fitnah atau propaganda.
* Risiko saturasi (tingkat kejenuhan atau kapasistas maksimum). Banjir kritik yang besar dan terus terjadi tanpa solusi, bisa membuat publik lelah dan apatis. Akibatnya, peringatan yang valid pun bisa diabaikan dengan serta merta.
Kedua risiko ini, yaitu risiko legitimasi dan saturasi, bisa merusak fondasi demokrasi dalam jangka panjang.
Menjaga Integritas di Tengah Badai
Kita tahu, di era digital, godaan untuk memanfaatkan emosi publik sangat besar. Namun, kritik politik yang ingin bertahan harus memilih jalur integritas-tinggi. Yaitu, memeriksa fakta, menahan diri dari provokasi, dan menghargai ruang klarifikasi.
Jurnalisme, baik profesional maupun warga, perlu sadar bahwa viral belum tentu benar. Sebaliknya, yang benar belum tentu viral. Pilihan antara dua itu adalah pertaruhan reputasi.
Akhirnya....
Kritik politik adalah hak, sekaligus tanggung jawab. Ia bisa menjadi cahaya yang menerangi ruang gelap kekuasaan di satu sisi. Tapi juga bisa menjadi api yang membakar habis kepercayaan publik. Keduanya, tergantung bagaimana kita menggunakannya.
Dengan memisahkan fakta dari opini, menolak insinuasi, menjaga bahasa, konsisten pada prinsip, dan membuka ruang dialog, kritik politik akan tetap menjadi oksigen bagi demokrasi. Bukan gas beracun yang mematikan percakapan.
Karena pada akhirnya, dalam politik maupun jurnalisme, kebenaran dan keadilan jauh lebih berharga daripada sekadar memenangkan opini publik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI