Kalau kamu lahir, besar, dan jatuh cinta di Indonesia, ada satu boss battle yang tak terhindarkan bernama MERTUA. Buat yang pacaran serius, kenalan dengan calon mertua itu rasanya mirip wawancara kerja. Bedanya, kalau HRD nanya, "Kenapa kamu cocok di posisi ini?" calon mertua bisa nanya, "Kamu bisa masak sayur asem gak?"
Apalagi kalau mertuanya masih patriarki kental. Ini tipe mertua yang percaya menantu perempuan harus bisa bangun jam 4 pagi, menyapu halaman sebelum ayam berkokok, dan tetap dandan kayak selebgram. Kalau menantunya laki-laki? Ya minimal gajinya harus bisa cover cicilan rumah, mobil, dan, oh ya, bonusnya kasih belanja bulanan mertua.
Banyak menantu (khususnya perempuan) yang harus berhadapan dengan pola pikir mertua yang masih kental patriarki. Di meja makan misalnya, mertua patriarki bisa dengan mudah melontarkan kalimat, "Istri itu tugasnya ngurus rumah, jangan pulang malam." Atau saat masak dia bilang, "Lho, kok sambalnya beda sama bikinan mama?"
Bagi sebagian orang, ini mungkin sekadar komentar. Tapi bagi menantu, itu terasa seperti ujian nasional yang kalo salah sedikit saja, nilainya merah.
Dan sekarang pertanyaannya, kalau kamu ketemu calon mertua yang ketus, penuh komentar patriarkis, apakah hubungan layak diteruskan, atau lebih baik mundur pelan-pelan sebelum hidup berubah jadi sinetron stripping?
Kenapa Patriarki Melekat dalam Relasi Mertua vs Menantu?
Sebelum kita bicara soal solusi, mari kita telisik dulu kenapa pola patriarki begitu kuat melekat dalam relasi mertua dan menantu di Indonesia. Nyatanya, konflik ini selain masalah pribadi, juga cerminan sejarah panjang, norma budaya, serta cara pandang masyarakat yang masih kental dengan hierarki gender.
Pertama, warisan budaya. Pepatah lama yang masih sering terdengar, "istri ikut suami" menjadi legitimasi tidak tertulis bagi banyak keluarga untuk menempatkan menantu perempuan pada posisi subordinat. Dalam praktiknya, begitu seorang perempuan menikah, ia dianggap sudah sepenuhnya menjadi "milik" keluarga suami.
Maka tak heran, banyak mertua merasa punya hak ikut campur, bahkan mendikte rumah tangga anaknya, mulai dari urusan tempat tinggal, pola asuh cucu, sampai menu harian di meja makan. Di beberapa daerah, norma ini masih begitu kuat, sehingga menantu perempuan sering dianggap sebagai "tamu yang harus patuh," bukan individu yang setara.
Kedua, ego keluarga. Ada sebagian mertua yang merasa anaknya "dirampas" pasangan. Rasa kepemilikan ini membuat mereka ingin tetap dominan sebagai pusat kontrol, meski anaknya sudah berumah tangga sendiri.
Ego semacam ini sering muncul dalam bentuk intervensi, misalnya "Jangan pindah rumah jauh-jauh, nanti kalau ada apa-apa repot," atau "Kalau mau ambil keputusan besar, tetap tanya orang tua dulu." Bagi mertua, ini bentuk kasih sayang. Tapi bagi menantu, ini terasa seperti benang halus yang menjerat kebebasan.