Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Transformative Human Development Coach | Penulis 3 Buku

Agung MSG – 🌱 Transformative Human Development Coach ✨ Mendampingi profesional bertumbuh lewat self-leadership, komunikasi, dan menulis untuk reputasi. 📚 Penulis 3 buku dan 1.400+ artikel inspiratif di Kompasiana dengan konsistensi kualitas yang mendapat sorotan headline dan highlight. 💡 Penggagas HAI Edumain – filosofi belajar dan berkarya dengan hati, akal, dan ilmu. 📧 agungmsg@gmail.com | 🔗 bit.ly/blogagungmsg | 📱 @agungmsg | 📞 +62 813-2045-5598 🔖 #TransformativeCoach #LeadershipWriting #GrowWithAgung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Merebut Cinta Ibu

12 Maret 2025   21:49 Diperbarui: 12 Maret 2025   21:49 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cinta ibu tak pernah terbagi, maka jangan biarkan baktimu terbatas.|Foto: pexels.com/funda izgi

"Jangan bertanya siapa yang berhak atas ibumu, tetapi bertanyalah: apakah aku telah cukup mencintainya?"

Malam merangkak perlahan, menelan sisa senja yang berpendar di ufuk barat. Di sebuah rumah kecil yang sederhana, seorang ayah duduk di hadapan anaknya. Wajahnya penuh ketenangan, namun dalam sorot matanya, ada kebijaksanaan yang hendak ia wariskan.

"Nak," ucap sang ayah, suaranya lembut namun penuh makna, "kelak, bila ayah telah tiada, pastikan ibumu berada dalam perawatan terbaikmu."

Anak itu mengangkat wajahnya, menatap ayahnya dengan kebingungan. "Tentu, Ayah. Bukankah sudah seharusnya begitu?"

Sang ayah tersenyum samar. Ia tahu, jawaban anaknya keluar dari logika yang sederhana, namun kehidupan tak sesederhana itu.

"Ayah ingin kau mengerti satu hal," lanjutnya. "Jangan gunakan logikamu untuk menentukan siapa yang lebih pantas merawat ibumu. Gunakan hatimu. Gunakan nuranimu. Gunakan keimananmu."

Anak itu terdiam. Kata-kata ayahnya seakan menggantung di udara, menanti untuk meresap dalam benaknya.

"Ketahuilah, Nak," sang ayah melanjutkan, "cinta seorang ibu lebih luas dari samudera, lebih dalam dari lembah, lebih tinggi dari puncak gunung mana pun. Engkau mungkin tidak menyadarinya, tetapi di setiap langkah yang kau ambil, ada jejak pengorbanannya yang tak terlihat."

Sang ayah menatap jauh ke arah jendela, seolah melihat sesuatu yang tak kasat mata. "Ibumu selalu mencintaimu, lebih dari yang bisa kau pahami. Setiap kali ia melihat anak kecil yang sebayamu dulu, ia akan tersenyum dan berkata, 'Begitulah anakku saat kecil.' Setiap ada makanan yang kau sukai, ia akan mengingat betapa bahagianya dirimu saat pertama kali mencicipinya. Aall kinds of everything reminds me of you."

Hening menyelimuti ruangan. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan.

Sang anak menunduk, merenungkan setiap kata yang diucapkan ayahnya. Dalam keheningan itu, ia merasa ada sesuatu yang bergetar dalam dadanya - sebuah kesadaran yang perlahan muncul ke permukaan.

*****

Waktu berlalu. Sang ayah pergi menghadap Ilahi, meninggalkan kenangan yang tak tergantikan. Dan kini, di hadapan anak itu, berdirilah sebuah kenyataan yang harus ia hadapi: tanggung jawab atas ibunya.

Namun, ia tidak sendiri. Ada saudaranya.

Perdebatan pun dimulai. Bukan tentang siapa yang tidak mau merawat ibu, tetapi tentang siapa yang lebih berhak.

"Aku memiliki rumah yang lebih luas," ujar saudaranya. "Aku bisa memberikan ibu kamar yang nyaman dan perawatan yang layak."

"Tapi ibu sudah terbiasa di sini," balasnya. "Tempat ini adalah rumahnya. Setiap sudut menyimpan kenangan, setiap dinding menjadi saksi kehidupannya."

Mereka tidak ingin membiarkan ibu mereka terlantar, namun tanpa sadar, mereka malah memperdebatkan hak atasnya, seakan kasih sayang bisa diukur dengan logika.

Sang ibu hanya tersenyum dalam diam. Matanya menyiratkan cinta yang tak terbagi, sebagaimana dahulu ia membesarkan mereka tanpa pernah memilih siapa yang lebih berharga.

Akhirnya, ibu mereka berkata lembut, "Mengapa kalian berdebat? Apakah bakti harus diperebutkan? Mengapa kalian tidak berlomba dalam cinta, sebagaimana kalian dulu berlomba dalam permainan masa kecil?"

Kata-kata itu menghunjam relung hati mereka. Mereka saling menatap, lalu menunduk, merasa malu atas keegoisan yang menyusup tanpa disadari.

Sejak saat itu, mereka tak lagi bertanya siapa yang lebih berhak, melainkan siapa yang lebih dulu bisa membahagiakan ibu mereka.

Setiap hari, mereka datang bergantian, membawa kebahagiaan dalam bentuk yang berbeda. Kadang berupa masakan kesukaan ibu, kadang berupa kisah-kisah lama yang mereka ulang dengan tawa. Mereka merawatnya bukan sebagai kewajiban, tetapi sebagai anugerah.

Dan sang ibu, di sisa usianya, merasakan kebahagiaan yang utuh - cinta yang tak terbagi, kasih yang tak diperebutkan.

*****

Suatu hari, sang anak merenungi kembali pesan ayahnya. Kini ia mengerti.

Bakti kepada orang tua bukan tentang siapa yang lebih pantas. Bukan tentang fasilitas terbaik. Bukan tentang siapa yang lebih kuat secara ekonomi.

Tetapi tentang siapa yang lebih dulu sadar bahwa cinta seorang ibu tak bisa ditimbang dengan logika, hanya bisa dirasakan dengan hati.

Karena pada akhirnya, surga memiliki beberapa pintu, dan salah satunya adalah pintu birrul walidain. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Kedua orang tua itu adalah pintu surga yang paling tengah. Jika kalian mau memasukinya maka jagalah orang tua kalian. Jika kalian enggan memasukinya, silakan sia-siakan orang tua kalian." (HR. At-Tirmidzi).

Dan ia tahu, ia tak ingin menyia-nyiakan pintu itu. Karena bakti adalah perlombaan yang mulia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun