Mohon tunggu...
Agustina Pandiangan
Agustina Pandiangan Mohon Tunggu... Relawan - Simple

Sedang berproses

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kembang Tidak Boleh Salah Pilih

27 April 2021   06:10 Diperbarui: 27 April 2021   07:27 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara suamimu entah berada dimana. Barangkali juga benar bahwa suamimu membutuhkan pertolongan karena dia tidak memiliki talenta untuk berjualan, mengajar, beternak, bertani atau apapun untuk mencari nafkah.

Setiba di pasar, kau menggelar tikar tempat barang daganganmu. Kemudian kau menjajakannya ke sana, ke mari. Kau sama sekali tidak peduli dengan matahari semakin menyengat. Aku hampir tidak sanggup membayangkan bagaimana perjuanganmu di pasar. Pantas saja kulitmu yang putih dan halus dulu sudah menjadi hitam dan kusam sekarang.  

Demikian pula dengan ibu mertuamu. Beliau lupa pada kulit keriput dan punggung bungkuknya. Beliau ikut serta menjajakan kol. Kalian berdua berjuang bersama-sama.

Matahari sudah mulai bersembunyi. Kau dan ibu mertuamu bergegas pulang. betapa senang kalian dengan hasil penjualan kol hari itu. Jalan yang sebelumnya kalian jalani tidak lagi terasa terlalu rumit karena uang di saku menyemangati. Semangat itu membuat kalian ingar bingar sepanjang jalan.

Dan siapa sangka, semangat itu menghantar ibu mertuamu pada kesudahannya di bumi. Ibu mertuamu terjatuh. Kepalanya terkena kayu, lalu berdarah sampai ke leher. Kau berseru-seru meminta bantuan. Tidak ada manusia di hutan selain kalian. Kau berusaha memapah tubuh ibu mertuamu. Kau menduga bahwa beliau masih hidup. 

Saat itu hujan pula, kau mencari tempat berteduh. Kau berusaha menyelimuti tubuhnya dengan mantel, menghindari basah air hujan. Alangkah terpukulnya kau saat mengetahui kepergiannya. Beliau terlepas dari rangkulanmu, terkulai di semak-semak. Kau memberi nafas buatan, berharap mukjizat terjadi. Kau berseru-seru lagi, meminta pertolongan. 


Seharusnya kau tak usah menyesal karena kau sudah melakukan yang terbaik. Pada akhirnya Tuhan selalu memberi jalan keberuntungan padamu. Seorang pemuda datang. Katanya dia kebetulan lewat. 

Pria tersebut berperawakan tinggi, terlihat muda, barangkali masih seusiamu. Dengan cepat, kau mengenali pemuda tersebut adalah salah satu guru pada sekolah dasar di dekat rumah kalian. 

Pak Guru tidak perlu pikir panjang untuk menggendong jasad ibu mertuamu. Kau berjalan seribu langkah mengikutinya. Sampai akhirnya kau, Pak Guru dan jasad ibu mertuamu tiba di rumah.

Kau berharap suamimu berada di rumah saat itu. Tapi kenyataannya suamimu sedang berkeliaran dengan wanita itu – istri suamimu. Kau mengurus jasad ibu mertuamu dibantu oleh Pak Guru. Memandikannya, mengganti pakaiannya, serta membaringkannya di tikar. 

Tidak lama kemudian, masyarakat sekitar datang berbondong-bondong untuk melayat. Mereka ikut serta berduka. Beberapa di antara mereka mempertanyakan keberadaan suamimu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun