Mohon tunggu...
Agustina Pandiangan
Agustina Pandiangan Mohon Tunggu... Relawan - Simple

Sedang berproses

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kembang Tidak Boleh Salah Pilih

27 April 2021   06:10 Diperbarui: 27 April 2021   07:27 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Spontan kau berdiri dari tempat duduk, lalu memelukku. “Kak, pernikahan tidak seindah yang kubayangkan. Aku mau kembali ke masa-masa senang kita dulu.”, katamu. Air matamu banjir di pundakku. Pasti ada yang tidak beres. Aku memapahmu duduk.

Kau mulai cerita panjang lebar. Kau bilang kau sedang mengandung anak pertamamu. Sepantasnya itu adalah kabar bahagia. Tapi dengan melihat raut wajahmu, aku tidak sanggup tersenyum, apalagi tertawa bahagia. 

Aku perhatikan penampilanmu. Kau tidak semodis dulu. Kau menggunakan kaos lengan panjang bewarna biru, celana keper panjang bewarna hitam, sendal swallow, dan syal. Aku curiga. 

Untuk apa kau memakai syal saat suhu kota Medan mencapai 34 derajat  celcius? Aku suruh kau membuka syal itu. Agak lama kau membukanya. Astaga, ada luka memar di lehermu. “Apa dia mencekikmu?”, tanyaku. Kau tidak menjawab. Air matamu tumpah lagi. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Aku periksa punggung, dada, kepala, perut, dan lenganmu. Astaga sekujur tubuhmu penuh dengan luka memar.

Aku bayangkan sejenak perjuanganmu untuk sampai di DPR. Tempatmu ke Sumatera bukan jarak yang pendek. Saat itu kau hanya memiliki uang saku minim yang kau peroleh dari hasil penjualan kol di pasar. 

Kau sampai dengan selamat melewati maritim Indonesia yang maha luas. Bukan hanya sekali, dua kali kau mual dan kemudian muntah. Badanmu bahkan meriang akibat angin laut menghantam dari segala arah. 


Sahabat, aku terlalu prihatin pada kondisimu saat itu. Pada pertemuan kita itu, kau tidak dapat menahan diri untuk tidak mengadu. Aku mendengarkan ceritamu dengan sendu.

Kau bilang semua baik-baik saja sebelum wanita itu datang ke rumah kalian. Wanita itu dengan perut membuncit sudah tujuh bulan katanya, mengaku bahwa suamimu adalah pasangannya sebelum kau ada dalam hidup suamimu. Bagaimana kau tidak terpukul? Pada saat itu juga suamimu memutuskan untuk menerima kalian berdua.

Kalian berdua berbagi suami dengan damai hanya mencapai waktu satu bulan. Selanjutnya, wanita itu mulai iri padamu karena kau dipercayai suamimu sebagai bendahara keluarga. Sahabatku, dalam tangismu kau lanjut mengadu mengenai puncak hari petengkaran kalian.

Pagi-pagi benar ketika hari masih gelap, kau berangkat ke pasar untuk menjual kol. Ibu mertuamu yang sudah renta, dialah satu-satunya yang rela membantumu menanggung beban. Kalian menempuh perjalanan yang cukup panjang dengan menghirup udara berembun. Kalian berjalan melewati hutan hanya menghandalkan cahaya lentera. 

Sesekali, kalian harus melewati deras sungai. Ibu mertuamu masih sangat kuat. Beliau sanggup berjalan kaki ke pasar meski sudah renta. Kau pun kuat sebagai wanita yang sedang hamil. Memang benar kata orang-orang bahwa wanita adalah penolong bagi laki-laki. Kau menolong suamimu mencari nafkah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun