Saat itu aku masih seorang anak kecil murid kelas tiga Madrasah Ibtidaiyah (MI) ketika wali kelas kami mulai membagi-bagikan raport kepada semua siswa di kelas.
Satu per satu nama temanku dipanggil maju ke depan kelas untuk menerima raport hasil belajar mereka selama periode caturwulan III tahun ajaran masa itu.
Namun, sampai dengan nama siswa terakhir dipanggil ternyata namaku tidak disebut sama sekali.
Seolah aku diabaikan.
Ketika teman-teman mulai riuh mengetahui nilai raport mereka, aku justru hanya bisa duduk termangu sembari memendam rasa penasaran karena menjadi satu-satunya siswa yang raportnya ditahan.
Hal itu terjadi karena aku masih menunggak pembayaran SPP sekolah selama beberapa bulan.
Aku belum bisa membayar karena mungkin waktu itu orang tuaku sedang mengalami kesulitan keuangan, sehingga aku pun cuma bisa pasrah menerima keadaan.
Saat ada beberapa teman menanyakan perihal kenapa aku tidak mendapatkan raport seperti yang lain, aku pun hanya tersenyum kecut mendengarnya.
Singkat cerita, selang beberapa hari berlalu ujug-ujug ibuku berbicara kepadaku.
“Le, tivine ngko ibu gadekno ndisek yo. Ulan ngarep ditebus maneh.” (Nak, televisinya nanti ibu gadaikan dulu ya. Bulan depan ditebus lagi.).
Ternyata ibuku berencana menggadaikan televisi (TV) di rumah kami, yakni sebuah TV tabung berukuran 14 inch.