Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Ketika "Survei" Menjadi "Serve"

23 Januari 2019   08:02 Diperbarui: 23 Januari 2019   19:39 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hasil survei| Kompas.com/Hendra Setaywan

Apakah ada pihak-pihak tertentu yang berkenan mendanai survei tanpa mengharapkan timbal balik darinya? Di era modern ini mungkin sangat jarang sekali ditemukan transaksi gratis. Selalu ada tukar-menukar kepentingan. 

Ada motif-motif tertentu dari setiap langkah dan upaya yang dilakukan oleh masing-masing pihak. Entah itu kepentingan secara langsung atau tidak langsung, entah itu kepentingan jangka pendek atau jangka panjang. Hanya mereka yang berkepentingan dan relasinyalah yang tahu, serta Tuhan tentunya.

Mungkin yang saya rasakan dalam beberapa tahun belakangan ini kontestasi politik tanah air terasa menjemukan dan dipenuhi intrik. Lembaga survei yang keberadaannya seharusnya memberikan warna baru dalam berdemokrasi, ternyata lebih banyak terikat dengan pragmatisme bisnis. 

Sebuah survey hanya menjadi serve terhadap pihak-pihak yang berkepentingan. Ada sesuatu yang hilang dari survei, karena yang ditangkap oleh masyarakat saat ini adalah survei tidak lebih dari sekadar upaya menggiring opini publik. Apa perlunya masyarakat tahu tren popularitas calon pemimpin mereka? Apa manfaatnya dari pengetahuan akan hasil survei elektabilitas?

Toh, yang menjadi syarat utama kelayakan seorang pemimpin adalah visi misinya, program kerjanya, dan kepeduliannya terhadap masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya nanti.

Sajian data hasil survei yang menunjukkan salah satu parpol lebih menarik dari yang lain, atau tokoh-tokoh tertentu lebih populer dari yang lain sebenarnya tidak memberikan manfaat apapun bagi masyarakat pemilih. Mungkin yang ada dibenak masayarakat ketika mereka melihat data hasil survei adalah, "Oh, tokoh ini ternyata paling populer."

Bombardir data elektabilitas adalah bentuk indoktrinasi kepada masyarakat. Tidak menutup kemungkinan ada anggapan di masyarakat bahwa percuma saja mereka memilih calon tertentu sedangkan calonnya itu tidak memiliki tingkat elektoral yang baik. Kemungkinan dari sangkaan ini ada tiga.

Pertama, ia akan tetap memilih kandidat favoritnya. Kedua, ia beralih kepada kandidat lain. Ketiga, ia tidak memilih sama sekali. 

Bisa jadi tren golput yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu salah satu penyebabnya adalah adanya rasa frustasi terhadap minimnya opsi sosok pemimpin kredible akibat pengerucutan tokoh yang disajikan oleh lembaga survei. 

Menjadi harapan besar kita semua bahwa lembaga survei itu harusnya membatasi dirinya dengan pihak-pihak berkepentingan, meski hal ini mungkin akan dipandang tidak tepat. Sebagai salah satu pilar demokrasi teramat aneh kiranya bagi lembaga survei ketika ia justru menjadi bagian dari pelaku politik dan kontestan demokrasi.

Terkadang saya pribadi merindukan periode pemilihan umum yang tidak didahului perkiraan hasil akhirnya oleh lembaga survei. Sekiranya!

Salam,

Agil S Habib 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun