Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Ketika "Survei" Menjadi "Serve"

23 Januari 2019   08:02 Diperbarui: 23 Januari 2019   19:39 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hasil survei| Kompas.com/Hendra Setaywan

Beberapa tahun terakhir ini kita secara rutin diberikan suguhan data-data statistik dari survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga publik, yang memberikan penyampaian informasi khususnya perihal elektabilitas partai dan tokoh-tokoh tertentu. Lembaga survei memiliki peranan yang sangat besar di era modern ini. Bahkan ada yang mengatakan bahwa survei adalah salah satu pilar dari demokrasi.

Kontribusinya dalam menyajikan data cukup mampu menggiring opini publik. Inilah kekuatan utama dari lembaga survei yang saat ini begitu diandalkan oleh pihak-pihak berkepentingan seperti partai politik kontestan pemilu maupun para kandidat calon pemimpin atau pejabat negara. Mereka memberdayakan lembaga survei untuk mengetahui "isi otak" para konstituen pemilihnya.

Mereka mempergunakan survei untuk membaca minat, tren, dan fakta-fakta lain yang tidak terbaca secara langsung oleh pengamatan biasa. Sebagai sebuah institusi yang mendasarkan pekerjaannya pada aspek scientific, survei yang dilakukan tentunya menjunjung tinggi etika keilmiahan.

Data yang mereka peroleh seharusnya adalah data yang benar-benar merepresentatifkan individu atau komunitas yang mereka jadikan objek survei. Poin pentingnya disini survei adalah penyambung lidah dari khalayak yang ditelitinya.

Sumber gambar : nasional.tempo.co
Sumber gambar : nasional.tempo.co
Menarik perhatian kita bersama ketika di tahun 2014 yang lalu, tepatnya pada saat pemilihan umum presiden yang mempertemukan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Pada saat dilakukan hitung cepat (quick count) oleh beberapa lembaga survei yang disajikan oleh beberapa televisi swasta, sesuatu yang menarik terjadi.

Di beberapa stasiun televisi menunjukkan kalau hasil hitung cepat pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla lebih unggul daripada pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Sedangkan di stasiun televisi lain yang tampak pada hasil hitung cepat justru sebaliknya. Masing-masing pasangan calon menklaim kemenangannya sendiri berdasarkan informasi yang disajikan oleh lembaga survei tertentu. Bukankah sebuah keanehan tatkala satu objek kajian yang sama, yaitu masyarakat pemilih, memunculkan hasil yang bertolak belakang dari beberapa lembaga survei? Pada saat itu banyak sekali yang mempertanyakan "keanehan" ini.

Ada yang mempertanyakan kredibilitas beberapa lembaga survei yang "memenangkan" pasangan Prabowo-Hatta, ada yang meragukan metode survei yang mereka pakai, dan lain sebagainya. Meski pada akhirnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil pemilihan umum presiden dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Hal ini menurut hemat saya telah memunculkan persepsi bahwa lembaga survei itu ternyata bisa "dikendalikan" hasilnya oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Ada sedikit keraguan apakah informasi yang disajikan oleh lembaga survei itu benar-benar merepresentasikan kondisi yang ada ataukah hal itu sebenarnya bentuk manipulasi yang "dikemas" secara halus dan "ilmiah".

Sebagai bagian dari pilar demokrasi, secara prinsip lembaga survei itu harus netral. Saya kira hal inipun sebenarnya sudah dideklarasikan secara luas oleh para pelaku survei itu sendiri. Mereka mengatakan bahwa survei yang dilakukan oleh lembaga survei adalah representasi dari kondisi publik yang sesungguhnya.

Terkadang muncul pertanyaan dibenak saya pribadi, bukankah untuk melakukan sebuah survei itu membutuhkan dana yang tidak sedikit? Darimana mereka mendapatkan pendanaan untuk melakukan aktivitas survei yang sudah tentu tidak gratis itu? Apakah lembaga survei tersebut rela mengeluarkan kocek pribadinya untuk sekadar membaca tren kecenderungan publik terhadap sesuatu hal tanpa mendapatkan imbalan apapun? Saya kira tidak.

Apakah ada pihak-pihak tertentu yang berkenan mendanai survei tanpa mengharapkan timbal balik darinya? Di era modern ini mungkin sangat jarang sekali ditemukan transaksi gratis. Selalu ada tukar-menukar kepentingan. 

Ada motif-motif tertentu dari setiap langkah dan upaya yang dilakukan oleh masing-masing pihak. Entah itu kepentingan secara langsung atau tidak langsung, entah itu kepentingan jangka pendek atau jangka panjang. Hanya mereka yang berkepentingan dan relasinyalah yang tahu, serta Tuhan tentunya.

Mungkin yang saya rasakan dalam beberapa tahun belakangan ini kontestasi politik tanah air terasa menjemukan dan dipenuhi intrik. Lembaga survei yang keberadaannya seharusnya memberikan warna baru dalam berdemokrasi, ternyata lebih banyak terikat dengan pragmatisme bisnis. 

Sebuah survey hanya menjadi serve terhadap pihak-pihak yang berkepentingan. Ada sesuatu yang hilang dari survei, karena yang ditangkap oleh masyarakat saat ini adalah survei tidak lebih dari sekadar upaya menggiring opini publik. Apa perlunya masyarakat tahu tren popularitas calon pemimpin mereka? Apa manfaatnya dari pengetahuan akan hasil survei elektabilitas?

Toh, yang menjadi syarat utama kelayakan seorang pemimpin adalah visi misinya, program kerjanya, dan kepeduliannya terhadap masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya nanti.

Sajian data hasil survei yang menunjukkan salah satu parpol lebih menarik dari yang lain, atau tokoh-tokoh tertentu lebih populer dari yang lain sebenarnya tidak memberikan manfaat apapun bagi masyarakat pemilih. Mungkin yang ada dibenak masayarakat ketika mereka melihat data hasil survei adalah, "Oh, tokoh ini ternyata paling populer."

Bombardir data elektabilitas adalah bentuk indoktrinasi kepada masyarakat. Tidak menutup kemungkinan ada anggapan di masyarakat bahwa percuma saja mereka memilih calon tertentu sedangkan calonnya itu tidak memiliki tingkat elektoral yang baik. Kemungkinan dari sangkaan ini ada tiga.

Pertama, ia akan tetap memilih kandidat favoritnya. Kedua, ia beralih kepada kandidat lain. Ketiga, ia tidak memilih sama sekali. 

Bisa jadi tren golput yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu salah satu penyebabnya adalah adanya rasa frustasi terhadap minimnya opsi sosok pemimpin kredible akibat pengerucutan tokoh yang disajikan oleh lembaga survei. 

Menjadi harapan besar kita semua bahwa lembaga survei itu harusnya membatasi dirinya dengan pihak-pihak berkepentingan, meski hal ini mungkin akan dipandang tidak tepat. Sebagai salah satu pilar demokrasi teramat aneh kiranya bagi lembaga survei ketika ia justru menjadi bagian dari pelaku politik dan kontestan demokrasi.

Terkadang saya pribadi merindukan periode pemilihan umum yang tidak didahului perkiraan hasil akhirnya oleh lembaga survei. Sekiranya!

Salam,

Agil S Habib 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun