Sebagai ibu dengan tiga anak dan sisa-sisa waras yang makin menipis, saya bisa bilang: mudik itu bukan sekadar perjalanan pulang. Ia adalah survival show edisi Lebaran, di mana kamu diuji sebagai manusia, sebagai istri, dan sebagai ibu dari anak yang kalau dikasih permen dua warna berbeda bisa tantrum karena "yang merahnya harus dipegang kiri".
Tahun ini, saya dan suami akhirnya mudik naik kereta ekonomi premium. Kenapa? Karena pilihan lain lebih cocok buat orang dengan jiwa muda dan tulang rawan yang belum rewel.
Naik motor? Badan saya sudah nggak dioptimalkan buat nempuh 8 jam di jalan sambil nahan kram bokong. Naik mobil pribadi? Maaf, kami belum mampu beli. Naik pesawat? Tiketnya bisa buat DP rumah subsidi. Jadi ya, KAI: selalu di hati.
Jadi, kereta. Tapi bukan kereta ekonomi biasa. Ini katanya "ekonomi premium".
Ekonomi tapi premium. Konsepnya membingungkan. Kayak makan mie instan, tapi rasa hotel bintang 5
War Tiket: Serasa Kompetisi Nasional Tangan Kilat Emak-Emak
Segala dimulai dari kompetisi tahunan bernama berburu tiket KAI. H-90 sebelum Lebaran, saya dan suami udah pasang alarm, minum kopi, dan stretching jari. Di dunia flash sale, saya cukup pro. Tapi tiket KAI? Ini levelnya udah e-sport.
Begitu jam 00.00, saya klik "pesan"---dan hap! Lenyap. Gagal. Batal. Dunia runtuh. Saya sampai mikir, "Ini lawannya manusia atau robot dari masa depan sih?"
Untung Tuhan masih sayang. Kami dapat juga dua kursi dan satu toddler gratis asal duduk di pangkuan.
Packing: Antara Bekal Lebaran yang Bagai Muatan Logistik Gempa
Sebagai ibu, saya punya satu prinsip hidup: "Bawa aja, nanti pasti kepake." Hasilnya? Satu koper gede, satu ransel, satu tas popok, satu kantong camilan, dan satu kantong misterius yang bahkan saya sendiri lupa isinya apa.