PUISI: Wajah Kota di Balik Gawai

Lampu Simpang Lima menari, bukan sekadar berkedip, ia adalah notasi malam, di jantung kota yang tak pernah lelap. Pantulan cahayanya adalah riuh zaman, suara kita yang terucap, di bawah langit digital, di mana cerita tumpah ruah dan merayap.

Angkringan bukan lagi sekadar tempat berbagi cerita, ia adalah ruang komunal, di mana gawai pun bersua. Tawa dan keluh kesah bercampur dalam unggahan seketika, harapan dan mimpi dirayakan, meski kadang terasa fana.

Gedung-gedung menjulang, bukan hanya saksi bisu, mereka adalah layar bisu, menayangkan jejak waktu. Perjuangan dan kemerdekaan kini jadi kapsul narasi di media sosial, dibingkai ulang, direfleksikan dalam filter nostalgia yang viral.

Di setiap sudut jalan, semangat tak lagi sekadar membara, ia adalah passion yang dibagikan, di- like, dan dikomentari para netizen belia. Asa dirajut dalam kolaborasi daring dan luring yang tak terduga, di tengah scrolling tanpa henti, di mana informasi membanjiri jiwa.

Namun, di balik gemerlap notifikasi dan feed yang tak berujung, tanya tentang "siapa kita?" justru kian meruncing. Identitas tak lagi sekadar tradisi yang membayang, ia adalah konstruksi digital, yang kadang rapuh dan mudah goyang.

Simpang Lima bukan hanya cermin statis, ia adalah kaleidoskop, memantulkan wajah Indonesia yang terus bertransformasi, tak pernah redup. Semoga di setiap swipe dan interaksi, kearifan tetap jadi trending, menjaga harmoni dalam multiverse perbedaan yang kian blending.

Kendal, 20/05/2025

Afid Alfian A