Mohon tunggu...
Afen Sena
Afen Sena Mohon Tunggu... Dr, IAP, FRAeS

Anak muda dari kampung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Khidmah Kyai: Guyonan Pondok hingga Realita Kekinian

13 September 2025   08:30 Diperbarui: 13 September 2025   08:30 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi di pesantren punya irama sendiri. Udara segar, lantunan ayat dari mushalla, suara sandal jepit berderit di lorong asrama, dan aroma kopi dari ndalem Kyai.
Seorang santri tampak berjalan hati-hati sambil membawa ember berisi air. Kyai yang melihat tersenyum, lalu berkata sambil bercanda:

"Ember itu jangan sampai tumpah, nak. Kalau sampai jatuh, kucing di luar bisa lebih pinter daripada kamu."

Santri tersenyum malu. Tawa kecil muncul di sekitar. Semua tahu, guyon Kyai itu lebih dari sekadar lelucon. Ada pesan yang halus: disiplin, ketelitian, sekaligus kesadaran bahwa belajar itu tidak selalu kaku.

Di situlah khidmah punya makna. Ia bukan hanya soal melayani Kyai, tapi juga membentuk cara pandang, karakter, dan hubungan sosial yang membumi.

Apa Itu Khidmah?

Khidmah sering dimaknai sekadar "mengabdi kepada Kyai". Tetapi di balik itu ada dimensi sosial, spiritual, bahkan kultural.

Di pondok, bentuk khidmah bisa macam-macam. Ada yang menyiapkan kitab, ada yang mengatur jadwal pengajian, ada pula yang hanya duduk mendengarkan curhat Kyai. Semuanya sahih, semuanya punya nilai.

Seorang santri pernah bertanya, "Kyai, kalau saya hanya nyapu halaman, apakah itu juga khidmah?"

Kyai menjawab ringan, "Nak, kalau nyapu halamanmu ikhlas, itu lebih tinggi nilainya daripada ceramahmu yang penuh pamer."

Tawa terdengar, tapi ada rasa tersentuh di hati.

"Nasi gosong lebih mudah diperbaiki daripada hati yang gosong."

Di Dalam Pondok: Khidmah Sebagai Latihan Hidup

Bagi yang masih mondok, khidmah adalah bagian dari ritme harian. Ia hadir dalam tugas-tugas sederhana tapi penuh makna.

Menyiapkan Makan Kyai

Santri yang kebagian tugas dapur sering dapat wejangan jenaka. Suatu kali, nasi agak gosong. Kyai mencicipi lalu berkomentar,

"Kalau nasinya gosong, jangan-jangan hatimu juga kurang disiram doa."

Semua tertawa. Pesannya sampai tanpa perlu ceramah panjang.

Mengurus Tamu

Ada santri yang bertugas menyambut tamu. Sering ia ditanya, "Kyai lagi di mana?" Jawabannya kadang kaku. Kyai kemudian menasehati dengan guyon:

"Nak, kalau ada tamu, jangan cuma jawab 'entah'. Masa Kyai-nya kamu hilangkan dari dunia?"

Dialog ringan itu menjadi pelajaran sosial tentang cara menyambut orang.

"Kalau ember air saja kamu malas angkat, jangan harap doa orang tua bisa kamu pikul."

Disiplin dari Hal Kecil

Santri lain setiap pagi mengangkat air wudhu. Awalnya malas, tapi lama-lama terbiasa. Ia berkata kepada temannya,

"Kalau dulu aku ngeluh angkat air, sekarang di rumah aku bisa ngangkat galon tanpa drama."

Guyonan sehari-hari jadi cara santri menyadari nilai khidmah.

Di Luar Pondok: Khidmah yang Bertransformasi

Bagi alumni yang sudah tidak mondok, khidmah tidak berhenti. Ia berubah bentuk sesuai ruang dan waktu.

Khidmah Profesional

Seorang alumni bekerja di kantor logistik. Ia ingat masa mengatur jadwal pengajian. Kini ia terbiasa mengatur deadline kerja.

"Dulu takut telat ngaji. Sekarang takut telat laporan," candanya.

Latihan kecil di pondok berbuah keterampilan besar di dunia kerja.

Khidmah Sosial

Alumni lain aktif di kegiatan desa. Ia teringat kata Kyai,

"Kalau mau dihormati, jangan dulu cari hormat. Hiduplah dengan memberi manfaat."

Kalimat sederhana itu jadi motivasi dalam membangun komunitas literasi di kampungnya.

"Kalau mau dihormati, jangan dulu cari hormat. Hiduplah dengan memberi manfaat."

Khidmah Digital

Ada pula yang menyalurkan khidmah lewat media sosial. Membuat konten dakwah, menulis artikel, atau membuat podcast. Pesantren tidak lagi terbatas ruang tembok, tapi bisa hadir di layar ponsel.

Kyai suatu kali berkomentar, "Nak, dakwahmu di TikTok jangan bikin orang malah lupa shalat."

Guyonan itu jadi pengingat bahwa khidmah digital pun tetap butuh arah.

"Dakwah di TikTok itu boleh, asal jangan bikin orang lupa shalat."

Konteks Kekinian: Dari Skeptis ke Pragmatis

Masyarakat kini cenderung kritis. Mereka tidak mudah menerima sesuatu hanya karena tradisi.

Khidmah, agar tetap hidup, perlu dimaknai ulang. Ia perlu hadir dalam bentuk yang bisa dirasakan manfaatnya langsung.

Seorang alumni bercerita, "Dulu saya sering disuruh bersih-bersih pondok. Sekarang saya kerja di perusahaan, ternyata mental disiplin itu membuat saya dipercaya memimpin tim."

Bagi masyarakat pragmatis, kisah nyata seperti ini lebih mengena ketimbang teori.

Cerita Mini: Santri dan Alumni

Santri Baru dan Ember Air

Santri baru mengeluh berat membawa ember. Kyai menimpali,

"Kalau ember aja nggak kuat, gimana nanti kuat mengangkat doa orang tuamu?"

Dialog sederhana itu menempel kuat di hati santri.

Alumni di Startup

Seorang alumni di startup teknologi berkata,

"Kalau coding bikin stres, saya ingat masa-masa ngantri mandi di pondok. Sama-sama butuh sabar."

Guyonan pribadi itu membuat rekan kerjanya ikut tertawa.

Alumni Sosial Media

Alumni yang bikin konten dakwah ditanya, "Apa tidak takut dikritik?" Ia jawab,

"Di pondok dulu saya tiap hari dikritik Kyai. Jadi, kritik netizen terasa seperti angin sepoi."

"Jangan takut dikritik. Kyai saja tiap hari kritik santrinya, masa kamu kalah sama netizen?"

Guyon Kyai: Pendidikan yang Membumi

Humor di pesantren tidak pernah kosong. Ia menjadi jembatan nilai yang halus tapi tajam.

Suatu hari, seorang santri tidur saat pengajian. Kyai menegurnya,

"Tidurmu nyenyak sekali, nak. Sampai kitab pun iri."

Semua tertawa, santri yang ditegur ikut senyum. Ia sadar, sindiran itu lebih menempel dibanding teguran keras.

"Tidurmu nyenyak sekali, nak. Sampai kitab pun iri."

Guyon Kyai adalah seni sosial. Ia menyampaikan kritik, nilai moral, dan strategi hidup tanpa membuat orang merasa dipermalukan.

Analisis Sosial: Relasi yang Unik

Relasi Kyai dan santri bukan hanya vertikal, tapi juga humanis.
*Vertikal: Kyai sebagai guru, santri sebagai murid.
*Horizontal: Santri belajar solidaritas antar sesama.
*Hybrid: Tradisi pondok berpadu dengan modernitas.
*Humor: Medium pendidikan yang efektif, menyejukkan, dan membumi.

Bagi sosiolog, khidmah adalah bentuk informal socialization yang khas pesantren: tidak kaku, tapi membentuk karakter kuat.

Membawa Khidmah ke Ruang Publik

Khidmah bukan sekadar tradisi internal pesantren. Ia bisa menjadi nilai publik.
*Di kantor, ia hadir sebagai disiplin dan keteguhan hati.
*Di komunitas, ia hadir sebagai kepedulian sosial.
*Di media digital, ia hadir sebagai konten yang mencerahkan.

Alumni yang bijak akan menjadikan khidmah bukan hanya nostalgia pondok, tapi praktik nyata dalam hidup modern.

Penutup: Khidmah yang Terus Hidup

Khidmah ala Nahdliyin selalu punya warna: serius tapi lucu, tradisi tapi adaptif, hierarkis tapi humanis.

Di pondok, khidmah melatih disiplin, empati, dan solidaritas. Di luar pondok, khidmah menjelma jadi etika kerja, kepedulian sosial, dan konten digital yang bermanfaat.

Guyon Kyai menjadi pengikat. Ia membuat pesan-pesan hidup terasa ringan tapi mengena.

Pada akhirnya, khidmah adalah cara hidup. Ia bukan hanya mengabdi pada Kyai, tapi juga pada kehidupan itu sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun