Kita pasti pernah dengar atau bahkan nyeletuk sendiri: "Sok iye." Kalimat pendek yang terasa santai tapi penuh makna. Biasanya dilempar pas seseorang terlihat terlalu percaya diri, terlalu setuju, atau terlalu 'iya iya' terhadap sesuatu yang... yah, kelihatan agak dibuat-buat.
Tapi menariknya, di balik cengiran dan nada sarkasme itu, "sok iye" sebenarnya sedang mengkritik sesuatu yang lebih dalam: soal keaslian, validasi sosial, dan haus pengakuan. Dalam banyak momen, "sok iye" bukan sekadar sindiran ke orang yang lebay. Ia bisa dibaca sebagai tanda ketidaknyamanan kita terhadap orang yang berusaha terlihat paham, terlihat ikut arus, atau terlihat 'nyambung'---padahal belum tentu benar-benar tahu atau peduli.
Misalnya, ada orang yang tiba-tiba mendadak jadi aktivis medsos begitu topik lingkungan viral. Caption-nya panjang, gaya bahasanya sok intelek, padahal minggu lalu dia masih buang sedotan plastik sembarangan. Atau teman yang ikut diskusi filsafat, tapi setiap argumen diawali dengan "iya sih, bener juga"---tanpa benar-benar mengerti konteksnya. Yang kayak gini, biasanya langsung dapat label dari kita: "Sok iye."
Nah, dari sudut pandang  yang lebih sederhana, ini bukan cuma perkara gaya ngomong. Ini soal identitas sosial yang cair, haus pengakuan, dan tekanan untuk tampil 'selalu tahu' di hadapan publik. Kita hidup di zaman di mana setuju dianggap cerdas, ikut arus dianggap relevan, dan menampilkan opini dianggap bentuk keberadaan. Jadilah banyak orang merasa harus selalu punya "iye" untuk tiap isu---entah itu soal Palestina, AI, mental health, atau skincare.
Padahal kadang, diam adalah bentuk kejujuran paling elegan.
Ungkapan "sok iye" secara tak langsung sedang menegur budaya kita yang gemar validasi. Kita terlalu sering dipaksa setuju hanya karena tidak ingin terlihat tertinggal. Kita terlalu takut dibilang tidak update, tidak woke, tidak relevan. Padahal, yang disebut "Iye" itu seharusnya lahir dari pemahaman, bukan dari tekanan sosial.
Jadi, kalau hari ini kamu melihat orang yang tampak "sok iye," bisa jadi dia hanya sedang berusaha keras agar tidak tertinggal dalam dunia yang menuntut semua orang untuk selalu "tahu." Tapi pertanyaannya: apakah benar-benar tahu, atau cuma takut kelihatan bodoh?
Dan kita yang menilai orang "sok iye," jangan-jangan juga sedang bermain peran. Menyalahkan orang yang sok tahu, padahal kita sendiri juga sedang memakai topeng yang sama---cuma versi yang lebih diam-diam.
Maka, mungkin kritik sebenarnya bukan pada "sok iye"-nya, tapi pada budaya yang membuat semua orang merasa harus selalu "iye" meski hatinya masih "hmm..."
Karena jujur saja, dalam dunia yang penuh pencitraan, kadang yang paling revolusioner adalah orang yang berani bilang:
"Saya nggak ngerti, boleh jelasin?"
Atau bahkan:
"Kayaknya gue belum siap setuju."