Mohon tunggu...
Afen Sena
Afen Sena Mohon Tunggu... Dr, IAP, FRAeS

Anak muda dari kampung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sok Iye: Ketika Setuju Jadi Gaya, Bukan Makna

12 Juni 2025   07:03 Diperbarui: 12 Juni 2025   07:03 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kueh, Ye..... (Sumber: Foto Pribadi)

Kita pasti pernah dengar atau bahkan nyeletuk sendiri: "Sok iye." Kalimat pendek yang terasa santai tapi penuh makna. Biasanya dilempar pas seseorang terlihat terlalu percaya diri, terlalu setuju, atau terlalu 'iya iya' terhadap sesuatu yang... yah, kelihatan agak dibuat-buat.


Tapi menariknya, di balik cengiran dan nada sarkasme itu, "sok iye" sebenarnya sedang mengkritik sesuatu yang lebih dalam: soal keaslian, validasi sosial, dan haus pengakuan. Dalam banyak momen, "sok iye" bukan sekadar sindiran ke orang yang lebay. Ia bisa dibaca sebagai tanda ketidaknyamanan kita terhadap orang yang berusaha terlihat paham, terlihat ikut arus, atau terlihat 'nyambung'---padahal belum tentu benar-benar tahu atau peduli.

Misalnya, ada orang yang tiba-tiba mendadak jadi aktivis medsos begitu topik lingkungan viral. Caption-nya panjang, gaya bahasanya sok intelek, padahal minggu lalu dia masih buang sedotan plastik sembarangan. Atau teman yang ikut diskusi filsafat, tapi setiap argumen diawali dengan "iya sih, bener juga"---tanpa benar-benar mengerti konteksnya. Yang kayak gini, biasanya langsung dapat label dari kita: "Sok iye."

Nah, dari sudut pandang  yang lebih sederhana, ini bukan cuma perkara gaya ngomong. Ini soal identitas sosial yang cair, haus pengakuan, dan tekanan untuk tampil 'selalu tahu' di hadapan publik. Kita hidup di zaman di mana setuju dianggap cerdas, ikut arus dianggap relevan, dan menampilkan opini dianggap bentuk keberadaan. Jadilah banyak orang merasa harus selalu punya "iye" untuk tiap isu---entah itu soal Palestina, AI, mental health, atau skincare.

Padahal kadang, diam adalah bentuk kejujuran paling elegan.

Ungkapan "sok iye" secara tak langsung sedang menegur budaya kita yang gemar validasi. Kita terlalu sering dipaksa setuju hanya karena tidak ingin terlihat tertinggal. Kita terlalu takut dibilang tidak update, tidak woke, tidak relevan. Padahal, yang disebut "Iye" itu seharusnya lahir dari pemahaman, bukan dari tekanan sosial.

Jadi, kalau hari ini kamu melihat orang yang tampak "sok iye," bisa jadi dia hanya sedang berusaha keras agar tidak tertinggal dalam dunia yang menuntut semua orang untuk selalu "tahu." Tapi pertanyaannya: apakah benar-benar tahu, atau cuma takut kelihatan bodoh?

Dan kita yang menilai orang "sok iye," jangan-jangan juga sedang bermain peran. Menyalahkan orang yang sok tahu, padahal kita sendiri juga sedang memakai topeng yang sama---cuma versi yang lebih diam-diam.

Maka, mungkin kritik sebenarnya bukan pada "sok iye"-nya, tapi pada budaya yang membuat semua orang merasa harus selalu "iye" meski hatinya masih "hmm..."

Karena jujur saja, dalam dunia yang penuh pencitraan, kadang yang paling revolusioner adalah orang yang berani bilang:
"Saya nggak ngerti, boleh jelasin?"
Atau bahkan:
"Kayaknya gue belum siap setuju."

Jadi ya, mungkin bukan soal siapa yang paling ngerti, siapa yang paling update, atau siapa yang paling cepat bilang "iye." Tapi tentang keberanian untuk jujur pada diri sendiri: apa kita benar-benar paham, atau cuma nggak mau ketinggalan ombak?

Toh, nggak semua hal harus kita tanggapi. Nggak semua topik harus kita komentari. Kadang, duduk diam dan menyimak juga bagian dari sikap yang bijak.

Karena di balik segala kebisingan opini dan validasi sosial, kadang kita cuma butuh ruang untuk belajar pelan-pelan. Untuk mengakui, "gue belum sampai situ," tanpa rasa malu. Dan percaya, bahwa jadi manusia yang masih belajar itu jauh lebih otentik, daripada jadi manusia yang "sok iye" cuma demi terlihat paham.

Jadi, nggak apa-apa kok kalau hari ini belum bisa ikut bilang "iye."
Yang penting, kita tahu kapan waktunya mengangguk---dan kapan waktunya bertanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun