Mohon tunggu...
Adzin Aris Aniq Adani
Adzin Aris Aniq Adani Mohon Tunggu... Mahasiswa di UIN Raden Mas Said Surakarta

Suka merefleksikan isu-isu sosial, politik, dan agama.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Krisis Ekologis: Salah Siapa?

20 September 2025   09:39 Diperbarui: 20 September 2025   09:39 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Krisis ekologis, atau yang sering disebut krisis lingkungan, merupakan isu serius yang diperbincangkan banyak pihak di era informasi dan digital saat ini. Mulai dari akademisi, politikus, hingga masyarakat awam yang mungkin tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi.

Ini merupakan hal yang wajar jika kita melihat kondisi bumi saat ini, mulai dari ancaman pemanasan global, punahnya berbagai spesies flora dan fauna, hingga tercemarnya udara dan air. Berbagai kerusakan alam ini tidak hanya mengancam eksistensi manusia, tetapi juga kehidupan secara umum.

Sejarah mencatat beberapa contoh krisis ekologis yang terjadi di abad ke-20, seperti tragedi Dust Bowl di Amerika Serikat pada 1930-an. Saat itu, erosi tanah besar-besaran akibat penggundulan lahan dan praktik pertanian yang buruk telah menghancurkan produksi pertanian, memicu migrasi massal, dan memperburuk kondisi ekonomi Depresi Besar.

Di Indonesia, kita juga menyaksikan krisis ekologis terjadi akibat tambang nikel dan batu bara yang merusak ekosistem hutan dan pesisir, mencemari sungai dan laut, serta menimbulkan konflik lahan dengan masyarakat adat.

Banyak pemikir dan aktivis telah mencoba menawarkan solusi untuk persoalan yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan ini. Dalam esai singkat ini, penulis akan menampilkan dan membandingkan dua gagasan dari dua pemikir besar abad ke-20, yaitu Seyyed Hossein Nasr dan Karl Popper, terkait isu ini.

Nasr dan Gagasan Pergeseran Paradigma

Seyyed Hossein Nasr adalah seorang intelektual Muslim asal Iran yang dikenal karena gagasannya tentang keterkaitan antara Islam, spiritualitas, dan persoalan ekologi. Ia termasuk tokoh awal yang mengkritik sains modern karena dianggap mengasingkan manusia dari alam dan mengabaikan nilai-nilai spiritual.

Meskipun memiliki latar belakang fisika dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Nasr banyak menulis tentang pentingnya warisan intelektual Islam dan pendekatan metafisik dalam kaitannya dengan krisis-krisis kontemporer, khususnya krisis ekologi.

Dalam karya-karyanya, ia berpendapat bahwa krisis ekologis yang dihadapi manusia modern adalah efek dari kemajuan sains dan teknologi yang mengabaikan aspek spiritual dan perspektif tradisional. Menurutnya, teknologi tidaklah bebas nilai. Di dalamnya tersimpan asumsi-asumsi, ideologi, serta paradigma yang menjauhkan manusia dari alam, menciptakan antroposentrisme yang sombong, dan solipsisme yang merusak tatanan alam.

Oleh karena itu, Nasr mengusulkan agar kita kembali pada pemahaman tradisional tentang alam, seperti menganggap alam sebagai sesuatu yang sakral. Ia meyakini bahwa etika lingkungan--jika hendak menjadi landasan perilaku sosial--harus disertai dengan pemahaman tentang realitas kosmik yang suci dan transenden sebagai dasarnya.

Ini sejalan dengan pemikiran Fritjof Capra, seorang fisikawan yang berpendapat bahwa krisis yang terjadi adalah akibat dari "kemiskinan perspektif" untuk memahami kompleksitas realitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun