Bab 6: Pelajaran Pertama - Tanah vs Api
Sebelum lanjut, sudah baca Prolog, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4 dan Bab 5 belum?
Jika suka dengan cerita ini, jangan sungkan like dan comment, akan sangat berarti bagi tim penulis.
Keesokan paginya di Gua Langit, udara terasa berat bukan hanya oleh kelembapan alami gua, tetapi juga oleh ketegangan yang belum mereda di antara keempat anak muda dan Pangeran Wirasakti. Setelah malam pertama yang penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban dan tidur yang tak nyenyak, Wirasakti memutuskan untuk segera memulai "pelajaran pertama". Ia membawa mereka ke sebuah ruangan gua yang lebih luas, langit-langitnya tinggi menjulang, dengan satu sisi terbuka menghadap ke lembah hijau yang tersembunyi, membiarkan secercah cahaya matahari pagi masuk dan menari di dinding batu.
"Kekuatan tanpa kendali adalah bencana, bukan anugerah," ujar Wirasakti, suaranya menggema. "Hari ini, kita akan mulai belajar memahami dan mengarahkan apa yang telah dianugerahkan pada kalian."
Ia menatap Tanah. "Tanah, kau yang pertama. Bumi adalah sekutumu. Rasakan denyutnya, perintah dia untuk melindungimu. Cobalah buat dinding batu di hadapanmu."
Tanah, dengan sifat pemalunya, merasa semua mata tertuju padanya. Ia menelan ludah, lalu maju beberapa langkah. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat sensasi ketika tanah longsor itu terjadi di desanya -- kemarahan, kepedihan, dan getaran bumi yang merespons. Ia mengulurkan tangannya, telapaknya menghadap ke tanah kosong di depannya. Keringat mulai membasahi pelipisnya. Ia berkonsentrasi, membayangkan dinding batu yang kokoh.
Perlahan, tanah di depannya mulai bergetar. Gumpalan-gumpalan tanah dan kerikil mulai terangkat, mencoba menyatu. Namun, hasilnya jauh dari kata dinding. Hanya tumpukan tanah yang rapuh, mudah runtuh. Angin, yang mengamati dari samping, hampir tertawa namun berhasil menahannya. Api mendecakkan lidah tak sabar.
"Fokus, Tanah!" kata Wirasakti, suaranya tegas namun tidak menghakimi. "Jangan hanya meminta, tapi rasakan kesatuannya denganmu. Kau adalah bagian dari tanah itu, dan tanah itu adalah bagian darimu."
Tanah menarik napas dalam-dalam, mencoba lagi. Kali ini, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Ada aliran hangat dari telapak tangannya menuju ke dalam bumi, dan sebaliknya. Getaran itu semakin kuat, dan kali ini, batu-batu yang lebih besar mulai terangkat, menyusun diri, saling mengunci. Dalam beberapa saat, sebuah dinding batu setinggi pinggang orang dewasa, meski belum sempurna, berhasil terbentuk di hadapannya. Wajah Tanah sedikit memerah karena usaha dan juga sedikit rasa bangga.
Namun, kepuasan itu tak berlangsung lama. "Terlalu lambat! Dan terlalu rapuh!" seru Api tiba-tiba. Sebelum ada yang sempat mencegah, ia melangkah maju, kedua tangannya terangkat. Semburan api biru yang menyilaukan melesat dari telapak tangannya, menghantam dinding batu buatan Tanah.