Mohon tunggu...
Adriyanto M
Adriyanto M Mohon Tunggu... Menyimak Getar Zaman, Menyulam Harapan

Ruang kontemplasi untuk membaca dinamika dunia dengan harapan dan semangat, merangkai ide dan solusi masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[FULL NOVEL] PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara - Bab 6

4 Juni 2025   15:50 Diperbarui: 20 Juni 2025   09:51 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Novel Superhero Indonesia: "PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara"

BLAAARR!

Dinding batu itu hancur berkeping-keping, meledak menjadi serpihan-serpihan kecil yang beterbangan. Panas yang menyengat seketika memenuhi ruangan gua. Tanah terkejut dan sedikit tersinggung, menatap Api dengan pandangan tak percaya.

"Api! Apa yang kau lakukan?!" tegur Wirasakti, wajahnya mengeras.

"Aku hanya menunjukkan kenyataan, Pangeran!" jawab Api ketus, matanya masih berkilat menantang. "Dinding seperti itu tak akan bisa menahan bahkan serangan terlemah Kompeni! Kita butuh kekuatan, bukan permainan membangun istana pasir!"

"Ini adalah latihan pengendalian, bukan adu kekuatan!" balas Wirasakti.

"Pengendalian?" Api tertawa sinis. "Pengendalian macam apa yang bisa menghentikan mereka membakar rumahmu dan membunuh keluargamu di depan matamu?"

Tanah tersentak mendengar kata-kata Api. Ia melihat kepedihan yang mendalam di balik kemarahan gadis itu, sesuatu yang sangat ia kenali.

"Ayahku dulu juga menolak menyerahkan lahannya pada Kompeni," lanjut Api, suaranya kini sedikit bergetar, api di tangannya meredup namun belum padam. "Mereka bilang ayahku pembangkang. Mereka mengikatnya di alun-alun desa, lalu... lalu mereka membakarnya hidup-hidup. Di depan mataku." Ia menatap Tanah, ada kilat aneh di matanya. "Mereka bilang itu pelajaran bagi yang lain. Menurutmu, dinding batu seperti itu bisa menghentikan api mereka?"

Keheningan melanda. Angin dan Tirta terdiam, terpaku oleh pengakuan Api yang penuh luka. Wirasakti menatap Api dengan sorot yang melembut, memahami akar dari kepahitan dan sifat destruktif gadis itu. Tanah, yang juga kehilangan ayahnya karena kekejaman VOC, merasakan gelombang empati yang kuat. Ia mengerti sekarang. Kemarahan Api bukanlah pada dirinya, tapi pada ketidakberdayaan yang pernah mereka semua rasakan. Itu adalah momen singkat, sebuah ikatan tak terucap yang terbentuk dari trauma bersama.

Tiba-tiba, Tirta, yang sedari tadi diam mengamati, menyipitkan matanya ke arah celah terbuka gua yang menghadap lembah. "Ada yang tidak beres," desisnya pelan.

Angin, dengan pendengarannya yang tajam, juga merasakan sesuatu. "Aku mendengar... suara langkah kaki yang sangat pelan. Di luar."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun