Wirasakti segera waspada. Ia memberi isyarat agar semua diam. Suasana yang tadinya tegang karena emosi, kini berubah menjadi tegang karena ancaman nyata. Mereka mendekati celah gua dengan hati-hati. Tidak ada siapa-siapa. Lembah di bawah tampak tenang seperti biasanya.
Namun, ketika Wirasakti memeriksa lebih teliti di sekitar mulut gua bagian dalam, di sebuah sudut yang agak tersembunyi, ia menemukan sesuatu yang membuat darahnya serasa membeku. Sebuah simbol aneh tergores di dinding batu, baru dibuat. Simbol itu tampak seperti pusaran kabut hitam pekat, dengan aura jahat yang samar namun terasa.
"Kabut Hitam..." desis Wirasakti, wajahnya pucat pasi. "Pasukan Bayangan VOC."
Api dan yang lainnya mendekat, melihat simbol itu dengan rasa ingin tahu bercampur ngeri. Mereka pernah mendengar desas-desus tentang unit pasukan khusus VOC ini -- mata-mata lokal yang dimanipulasi dengan obat-obatan Belanda, bergerak tanpa suara, dan meninggalkan jejak teror di mana pun mereka pergi.
"Mereka berhasil menyusup ke sini?" tanya Angin, suaranya bergetar. Gua Langit yang tadinya terasa sebagai benteng perlindungan, kini terasa rentan.
"Ini peringatan," kata Wirasakti, matanya menyiratkan kemarahan dan kekhawatiran. "Mereka tahu tentang kita. Atau setidaknya, mereka tahu tentang tempat ini."
Pelajaran pertama hari itu berakhir dengan tiba-tiba. Bukan lagi tentang mengendalikan kekuatan, tapi tentang menyadari bahwa musuh mereka jauh lebih dekat dan lebih berbahaya dari yang mereka bayangkan. Ketakutan baru menyelimuti Gua Langit, sebuah ketakutan yang memaksa keempat anak muda itu untuk menyadari bahwa mereka tidak bisa lagi lari dari takdir yang kini memburu mereka.
-- BERSAMBUNG ke Bab 7 --
_______
Buku novel ini adalah bagian dari proyek "Lab Histori"Â
https://medium.com/@labhistori