Dan sesuatu yang ajaib terjadi. Lompatannya terasa aneh. Ia tidak langsung turun, melainkan seolah melayang sesaat lebih lama dari yang seharusnya. Angin kencang tiba-tiba bertiup di sekelilingnya, bukan angin pasar yang biasa, tapi hembusan yang kuat dan berputar. Ia merasakan tubuhnya terangkat lebih tinggi, melewati tumpukan peti itu dengan mudah.
BRAAAKKK! KRREEEKKK!
Di belakangnya, para serdadu yang mengejar terpekik kaget. Atap-atap terpal beberapa lapak pedagang di dekatnya terangkat dan beterbangan seperti layangan putus, diterbangkan oleh hembusan angin aneh yang datang entah dari mana. Beberapa buah-buahan dan sayuran berhamburan. Para serdadu terpaksa berhenti, melindungi wajah mereka dari debu dan puing-puing kecil.
Angin sendiri mendarat dengan sedikit kasar beberapa meter di depan, jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena lari, tapi juga karena sensasi aneh yang baru saja ia rasakan. Ia menoleh ke belakang, melihat kekacauan yang ditimbulkannya tanpa sengaja. Ia tak mengerti apa yang terjadi, tapi ia tahu ia harus segera pergi dari sana.
Dengan sisa tenaganya, ia berlari menuju rumah kecilnya di pinggir pasar, tempat Nyai Ratna biasanya sudah menunggu.
Nyai Ratna sedang meracik jamu di depan tungku ketika Angin menerobos masuk dengan napas terengah-engah. Wajah wanita paruh baya itu, yang biasanya tenang namun menyimpan kesedihan tersembunyi, langsung mengeras melihat keadaan Angin yang acak-acakan dan mendengar keributan dari arah pasar.
"Apa lagi yang kau perbuat, Sari?" tanya Nyai Ratna dengan suara dingin, namun matanya tak bisa menyembunyikan kilat khawatir.
"Aku... aku dikejar serdadu, Bu..." jawab Angin, mencoba mengatur napas. "Tapi... ada yang aneh tadi. Angin... angin kencang sekali..."
Nyai Ratna terdiam, tatapannya menyelidik. Ia melihat ke luar jendela, ke arah pasar yang masih terdengar sedikit riuh. Kemarahan terpancar di wajahnya, namun Angin bisa melihat ada sesuatu yang lain di sana -- ketakutan? Kesedihan?
"Sudah berapa kali Ibu bilang, jangan cari gara-gara dengan mereka!" bentak Nyai Ratna, suaranya bergetar. "Kau pikir hidup ini permainan, HAH?!"
Angin menunduk, merasa bersalah. Ia tahu ibunya marah, tapi kemarahan Nyai Ratna kali ini terasa berbeda. Setelah memastikan Angin duduk di sudut ruangan dan memberinya minum, Nyai Ratna berbalik, memunggungi Angin. Angin melihat bahu ibunya bergetar pelan. Diam-diam, Nyai Ratna menangis. Tangannya merogoh sesuatu dari balik lipatan bajunya -- sepucuk surat yang sudah lusuh dan menguning, terlipat rapi. Ia menggenggam surat itu erat, seolah surat itu adalah satu-satunya pegangan di tengah badai. Surat wasiat, atau mungkin catatan masa lalu, yang menyimpan rahasia tentang asal-usul Sari, si Angin pasar. Rahasia yang suatu hari nanti akan mengubah hidup gadis periang itu selamanya.