Sementara perhatian kedua serdadu teralih oleh kata-katanya dan senyumnya yang memesona, tangan Angin dengan gesit bergerak. Jari-jarinya yang ramping seperti penari, menyelinap ke kantong uang serdadu yang lebih tua, mengambil beberapa keping perak tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
"Berapa harganya?" tanya serdadu yang lebih tua, matanya masih sedikit berkabut oleh tuak.
"Untuk Tuan, gratis saja. Anggap saja ucapan terima kasih karena sudah menjaga keamanan pasar ini," kata Angin, mundur perlahan sambil tersenyum lebar. "Silakan dinikmati harinya, Tuan-tuan!"
Ia berbalik dan hendak menghilang di antara kerumunan, ketika serdadu yang lebih muda tiba-tiba menyadari sesuatu. Ia meraba kantong temannya, lalu kantongnya sendiri.
"Hei! Tunggu dulu! Di mana uangku?!" teriaknya. Sersan yang lebih tua ikut terkejut dan memeriksa kantongnya yang kini terasa lebih ringan.
Mata mereka langsung tertuju pada Angin yang sudah beberapa langkah menjauh. "Kurang ajar! Pencuri kecil!"
Angin tak perlu menunggu perintah kedua. Ia langsung mengambil langkah seribu, menyelip di antara para pedagang sayur dan pembeli yang kebingungan. Bakul jamunya sedikit bergoyang, tapi ia berhasil menjaganya tetap seimbang.
"Tangkap dia!"
Kedua serdadu itu, ditambah beberapa rekan mereka yang mendengar keributan, mulai mengejarnya. Pasar yang tadinya ramai namun teratur, kini menjadi sedikit kacau. Angin berlari secepat ia bisa, tubuhnya yang kecil dan ramping memudahkannya melewati celah-celah sempit. Ia sudah hafal setiap sudut pasar ini seperti punggung tangannya sendiri.
Namun, para serdadu itu lebih besar dan beberapa dari mereka cukup gesit. Jarak di antara mereka semakin menipis. Tiba-tiba, dari arah benteng kecil VOC di ujung pasar, terdengar suara ledakan. Bukan ledakan besar, mungkin hanya meriam kecil yang sedang diuji atau suara genderang yang dipukul keras sebagai tanda panggilan. Bagi Angin, suara keras dan tiba-tiba seperti itu adalah pemicu trauma. Tubuhnya menegang sesaat, ingatan masa kecil tentang ledakan meriam yang memekakkan telinga dan menghancurkan berkelebat di benaknya. Wajahnya memucat.
Ketakutan itu memberinya dorongan adrenalin ekstra. Ia harus lari, harus menjauh. Di depannya, sebuah tumpukan peti kayu menghalangi jalan. Tanpa pikir panjang, ia melompat, berharap bisa melewatinya.