Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Ramai Kasus Perceraian, Ini 4 Dampaknya terhadap Kontrak Kredit Pembiayaan

8 September 2020   02:22 Diperbarui: 8 September 2020   08:22 2011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: equitabelmediation.com

"Saat awal penerapan PSBB pada April dan Mei 2020, perceraian di Indonesia di bawah 20.000 kasus. Namun, pada bulan Juni dan Juli 2020, jumlah perceraian meningkat menjadi 57.000 kasus," ujar Direktur Jenderal Badan Pengadilan Mahkamah Agung Aco Nur 

Kutipan di atas itu saya baca dari berita online Harian Lombok Post siang tadi. Bila memang demikian, berarti tak hanya korban Covid-19 yang melonjak grafiknya sepanjang masa pandemi. Keretakan mahligai rumah tangga juga seakan tak mau kalah.

Ada faktor kausalitas secara langsung maupun tak langsung. A menyebabkan B, namun B belum tentu berdampak terhadap A. 

Bila A adalah wabah Covid-19, dan B adalah jumlah kasus perceraian, maka faktor virus Corona berpengaruh terhadap menurunnya pendapatan dan membengkaknya pengeluaran rumah tangga, sehingga bisa menjadi salah satu faktor goyahnya pernikahan. Meski uang bukan yang utama dalam keluarga, namun gara-gara masalah finansial, bisa merembet ke mana-mana. 

Dari pernyataan di atas, angka 20 ribu ke 57 ribu berarti kurang lebih pertambahannya 37 ribu. Presentasenya meningkat 185 persen. Hanya dalam rentang 5 bulan dari April hingga akhir Agustus. Asumsi rata-rata perbulan 7400. 

Bila rata-rata ini dibagi ke total provinsi di tanah air sejmlah 34 provinsi, berarti kurang lebih ada 217 pengajuan cerai yang berasal dari seluruh kabupaten dan kota mewakili satu provinsi.

Tentu ini angka yang bukan main dan lumayan besar. Namun hitung-hitungan di atas hanyalah analisa receh secara kasar. Detilnya tentu berbeda. Tak semua daerah di Indonesia berkontribusi sama terhadap akumulasi kasus.

Ada beberapa kabupaten kota sebagai pareto. Namun tak sedikit yang rata-rata jumlah kasusnya di bawah puluhan. Data terperinci tentunya ada di departemen dan kementerian terkait.

Pertanyaannya adalah, mengapa kasus perceraian bisa meningkat? Lantas bila sekarang diasosiasikan dengan kata "ramai", apa karena meningkatnya itu pada periode pandemi atau sebelumnya sudah "ramai", namun gaungnya tak terdengar? Ujung-ujungnya bisa muncul perkataan sinis, "ngapain sih ngurus orang cerai, lha wong biasa kok di Indonesia, apalagi artis". Hehe...

Mungkin benang merah dari ketiga pertanyaan di atas adalah korelasinya. Dengan mengetahui faktor-faktor pencetusnya, sebagai warga yang mungkin bahtera keluarganya masih baik -baik saja, bisa belajar mengenali potensi atau ancaman dari apa saja yang secara pelan-pelan dapat menghancurkan sebuah pernikahan.

Namanya pelan-pelan, bisa bermakna bergerak namun tak terdeteksi. Gejala terlihat namun tak bisa dipastikan. Dan dalam hal pernikahan yang bubar, biasanya telah didahului tanda -tanda.

Tidak ada ujug-ujug tiba tiba salah satu pasangan berkata, "kita cerai Mas". Sebelum lontaran itu keluar dari mulut, namun sudah tersimpan di hati. Tinggal tunggu waktu dan momen. Sebelum benar-benar retak, kemudian pecah dan terbelah.

4 Pengalaman Terkait Kasus Kredit Nasabah Gara-gara Rumah Tangga yang Retak 

Ada banyak alasan pria dan wanita memutuskan ikatan pernikahan. Kendati banyak di luar sana, pasangan yang hidup bersama tanpa legalitas perkawinan namun kata cerai dan maknanya lebih ditujukan pada mereka yang terikat secara sah dalam dokumen (buku atau sertifikat pernikahan).

Ini karena tanggung jawab pengadilan yang nantinya akan berakhir pada mengeluarkan surat cerai resmi atau bisa juga menyelamatkan pernikahan melalui proses mediasi. 

Selembar surat pengesahan dari instansi berwenang, nantinya akan sangat berguna dalam proses kehidupan masing-masing pasangan selepas berpisah. 

Mengajukan kredit misalnya. Surat pengesahan cerai dari pengadilan jadi syarat utama untuk status pemohon (bila menurutnya sudah bercerai). Tak boleh melampirkan surat sudah berpisah dari perangkat desa atau kelurahan. Mau tak mau, calon nasabah yang sedang OTW untuk bubaran rumah tangganya, mesti mengurus prosesnya sampai mendapatkan surat pengesahan.

Karena bagi lembaga pembiayaan, terlalu berisiko membiayai kredit (barang atau jasa), pada pasangan yang tak akur, jangka panjangnya "berbahaya" dalam tanda kutip. Padahal bisnis pembiayaan adalah bisnis dengan resiko seminimal mungkin. 

Lagi pula syarat menandatangani perjanjian kontrak adalah hati dan pikiran mesti tenang. Dengan sadar, bukan terpaksa. Tidak juga disertai kemarahan. Lha ini yang paraf kan mesti berdua, bukan hanya suami saja atau istri seorang diri. Berdua mengetahui dan akan bertanggung jawab selama masa kontrak.

Pengalaman sekian tahun bekerja, ada banyak warna-warni kasus kredit, yang dipicu lantaran masalah rumah tangga dengan aroma perceraian. Mulai dari retak sedikit, retak menyeluruh hingga terbelah total. 

Maksudnya ada yang masih di ambang perceraian sampai pada sudah cerai beneran. Namun, saya hanya akan sharing 4 pengalaman saja. 

1. Istri tak mau tanda tangan kontrak dan bertengkar dengan suami di depan petugas 
Terjadi tahun 2013, sayalah petugas tersebut. Sang suami adalah salah satu GC alias Good Customer. Sebelumnya beliau telah beberapa kali kredit di kantor.

Setelah lunas hampir setahun lamanya, beliau kembali menghubungi saya dan berniat ajukan kredit multiguna sekian juta. 

Berangkatlah saya ke rumahnya. Mereka tinggal di desa, jaraknya kurang lebih 20 kilometer dari kantor. Meski desa, namun tak desa-desa amat. Maksudnya jalan sudah beraspal dan kondisi rumahnya adalah bangunan batu bata berlantai satu tipe 36. Beliau menerima saya dengan baik namun tak terlihat sang istri.

"Mana istrinya Pak?", tanya saya karena pasangan harus juga menandatangani kontrak.

Perasaan sudah tak enak. Sejak awal bekerja, saya dan juga mungkin teman -teman yang bekerja di bidang pembiayaan, sudah diajarkan sejumlah gejala yang menunjukkan ketidakharmonisan calon nasabah dan pasangan lewat bahasa tubuh dan pengamatan. Jadi feeling-nya sudah mengarah ke sana.

"Istri saya sakit, lagi di kamar. Bisa saya bawa berkasnya ke kamar? Masnya tunjukkan saja di lembaran mana tanda tangannya, nanti saya bawa ke istri", katanya

Makin bertambah penasaran. Berkelebat di pikiran, beneran sakit apa sang istri tak setuju nih. 

"Maaf Pak, aturan kantor, saya harus melihat dan foto pada saat bapak dan ibu menandatangani sebagai bukti ke bagian kredit. Bahwa prosesnya benar dan bukan rekayasa", kata saya menjelaskan lantaran SOP-nya memang begitu.

Baru saja selesai bicara begitu, muncul sang istri tiba-tiba dari dalam kamar. Masih mengenakan daster dengan mata sembab, sepertinya habis menangis.

"Buat selingkuhanmu kau ambil uang itu? Belum cukup kau bikin sakit hati aku?", katanya dengan nada keras pada sang suami yang duduk bersama saya di ruang tamu.

Seketika saya kaget. Sang suami berusaha menenangkan istrinya namun terlambat. Malah terjadi keributan dan pertengkaran di depan saya. Nada saling meninggi. Ditingkahi bunyi piring dan sendok berubah posisi. 

Membuat saya akhirnya merapihkan berkas dan memasukkan mapnya dalam tas, lalu mohon izin permisi dan meninggalkan rumah mereka untuk berbalik ke kantor.

Ternyata si nasabah itu sedang proses perceraian dengan istri lantaran sudah mempunyai wanita idaman lain. Parahnya adalah agunan BPKB kendaraan sebagai salah satu jaminan, adalah atas nama istri, yang tak rela diagunkan demi kepentingan suami bersama selingkuhannya itu. 

Besoknya, sang suami menelepon saya lag, "Bisa dibantu Mas? Tanda tangan istri, saya yang tanda tangani, ikut seperti KTP-nya. Nanti Masnya dapat bagian sedikit buat uang pulsa", katanya lewat HP.

Wadoehh...Ngga ah...

2. Nasabah cerai tak resmi dengan istri, pacar baru istri ribut dan bawa gengnya ke kantor hingga aparat turun tangan
Pernah lihat sebuah kantor finance di geruduk massa karena sang pelaku tak tahu menahu dengan aturan perusahaan yang mengacu pada peraturan OJK, lalu mengajak sekumpulan orang untuk ribut di sana? Bila dibedah kasusnya, umumnya penyebabnya cuma dua. 

Nasabah tak tahu aturan di internal perusahaan pembiayaan, atau petugas internal yang salah prosedur atau salah proses. Mau di bolak-balik dicari akar masalahnya, umumnya seputaran itu-itu saja. Tak nyambung satu sama lain, di situlah bergesek. 

Nasabah ini dulunya diproses salah satu rekan di dalam tim. Otomatis saya juga juga ikut meng-approve pengajuannya kala itu. Ternyata terjadi masalah dalam rumah tangga si nasabah dan berujung pisah begitu saja tanpa ada surat cerai resmi dari pengadilan. 

Ketika lunas, si istri yang sudah pisah rumah dan menjalin hubungan dengan seorang laki-laki, datang ke kantor hendak mengambil agunannya. 

Masalahnya adalah tak ada surat cerai resmi sementara lontrak kredit atas nama suami termasuk jaminannya. Bagaimana mungkin kantor mau memberikan agunan itu pada si istri dan pacarnya, padahal tak ada surat kuasa atau surat pelepasan hak dari mantan suami, untuk diberikan pada orang lain? 

Bila diberikan, dan nantinya sang suami yang adalah nasabah itu datang dan meminta haknya, kantor bisa dituntut karena mengalihkan jaminan pada orang lain tanpa sepengetahuan dan seijin pemilik kontrak. 

Ini menyalahi aturan. Agunan nanti malah sudah dibawa pergi, tapi perusahaan akan bermasalah secara hukum. Karena nasabah punya hak dan dijamin undang -undang perlindungan konsumen.

Sang istri sudah tak mau lagi berhubungan dengan mantan suami. Bahkan beralasan tak tahu ada di mana. Tak pernah komunikasi hampir 2 tahunan. Saking ngotot dan tetap tak terima, sang istri dan pacar nya itu, akhirnya mengajak sejumlah orang ke kantor. 

Gontok-gontokkan, hingga sedikit adu fisik dengan karyawan internal. Akhirnya beberapa rekan dari polres dan aparat TNI datang ke kantor dan melerai. Ada sekitar tiga jam berlangsung. 

Para geng nya, yang tak tahu menahu akar masalahnya apa, mulai rencana mau ini dan itu di kantor, Namun tak kesampaian lantaran sungkan dan takut sama pasukan loreng dan coklat, yang telah bermitra dengan kantor sejak berdiri.

Bila ditelaah akar konfliknya, ujung -ujungnya adalah masalah rumah tangga dengan aroma perceraian, yang melebar ke sengketa jaminan kredit.

3. Nasabah tak terima di-reject oleh kantor karena ulah mantan suami palsukan tanda tangan mantan istri di lembaga pembiayaan lain. 

Kadang meski sudah pisah, masih ada benih cinta, Tapi bila memalsukan tanda tangan mantan pasangan pada dokumen kredit, bisa panjang urusannya di kemudian hari. Seperti kisah salah satu nasabah yang dekat dengan kami di kantor. 

Ibu X adalah seorang janda beranak 4. Sudah cerai resmi dengan surat sah dari pengadilan, yang menjadi dokumen beliau pada bebrapa kontrak di kami. 

Dia tahun lalu, lantaran membutuhkan dana buat renovasi rumah dan modal usaha, beliau ajukan kredit ratusan juta dengan jaminan BPKB Mobil milik sendiri. 

Karena terkategori nasabah good, kami yakin-yakin saja, pihak kredit akan approve. Ternyata hasilnya ditolak, dengan catatan: ada macet sekian bulan di salah satu finance milik bank besar di tanah air. Sontak saja si Ibu nasabah ini tak terima. Karena meski punya beberapa kontrak di bank, semuanya lancar jaya dan tak pernah macet. 

Usut punya usut, ternyata yang menunggak adalah mantan suami. Ketika dia kredit di finance lain, proses cerai sedang diurus dan mereka sudah tak tinggal serumah. 

Akal bulusnya adalah meniru tanda tangan sang istri berdasarkan foto copy KTP, dan kongkalikong dengan pegawai di finance itu demi lolosnya pengajuan. Dan sang mantan istri, tak tahu menahu perihal itu.

Ujung-ujungnya adalah sang istri membawa saudaranya yang pegawai kejaksaan, mendatangi kantor tersebut. Niat bertemu langsung dengan kepala cabangnya, 

Takut dampak melebar dan merusak citra perusahaan, mereka membuat surat bebas atas nama perusahaan, yang menyatakan beliau tak pernah bermasalah. Surat itu kemudian diberikan kepada saya sebagai lampiran dalam dokumen kontrak untuk pengajuan beliau.

4. Anak -anak dari istri pertama ribut dengan istri kedua di kantor, gara-gara sengketa kepemilikan BPKB Mobil. 

Kontrak atas nama sang bapak. Jangka waktu 5 tahun. Sedang jalan kreditnya, sang bapak bercerai dengan istri pertama dan jatuh dalam pelukan istri kedua. Sudah pasti lebih muda.

Hasil migrasi itu membuahkan seorang anak laki -laki. Secara logika, dia juga anak dari sang bapak. Ketika lagi sisa 4 atau 5 bulan sebelum lunas, anak -anak dari istri pertama, datang ke kantor dan meminta agar BPKB jangan diberikan pada isri kedua. Namun permintaan itu tak diterima oleh istri kedua karena dialah yang membayar cicilan selama 3 tahn terakhir.

Secara aturan, karena kontrak atas nama sang bapak, jadi kembali lagi pada beliau. Sang bapak membuat surat kuasa agar diberikan BPKB nya pada istri kedua lantaran uang pribadinya sudah keluar selama sekian tahun tuk angsuran, yang bila bukan karena itu, unit roda 4 seharga ratusan juta, mungkin sudah ditarik oleh kantor.

Keputusan sang bapak berujung kisruh. Ngotot-ngototan di antara mereka, hingga adu mulut. Berdasarkan kenginan sang bapak, tetap surat kuasa penerima adalah si istri kedua. 

Setelah itu masih ada riak-riak kecil, namun diarahkan agar diselesaikan secara damai dan kekeluargaan. Toh ini masalah keluarga yang dapat diselesaikan secara baik-baik tanpa menyusahkan pihak finance.

Sekadar saran sehubungan perceraian, berkaitan dengan kredit di lembaga pembiayaan

1. Hampir merata di tanah air, bagi pasangan yang sudah berpisah dan belum mengantongi surat cerai resmi, perusahaan lembaga pembiayaan mengenakan persyaratan yang sama: wajib melampirkan copy surat cerai resmi dari pengadilan, apabila hendak mengajukan kredit. Jadi, alangkah baiknya mengurus prosesnya di pengadilan.

Mendiamkan dan menggantung ketidakjelasan hubungan, lalu berniat mengajukan kredit, ada kecenderungan akan memanipulasi dan merekayasa data, seperti pada beberapa contoh di atas. 

2. Evaluasilah semua kontrak kredit yang sedang berjalan, termasuk yang telah lunas namun agunan (jaminan) belum diambil. Termasuk di dalamnya kredit kendaraan, kkredit rumah, kredit elektronik, perhiasan dan beraneka pembiayaan kredit lainnya. Cek satu persatu kontrak kredit atas nama siapa. Nama di benda agunan, atas nama siapa. 

Duduklah bersama, meski dengan hati yang tak lagi menyatu. Berbicaralah dari hati ke hati, secara logis, pembagian tanggung jawab akan kelanjutan cicilan (bila masih ada), siapa di antara suami atau istri, yang bertanggung jawab soal siapa yang akan meneruskan. 

Pengalaman menunjukkan, tak sedikit riwayat pembayaran yang sebelumnya lancar, namun karena keretakan rumah tangga, mengakibatkan tersendat -sendat. Ada yang akhirnya finish dengan sempurna, namun tak sedikit yang macet hingga karam. Cobalah berdiskusi dengan mantan pasangan.

3. Masing -masing lembaga pembiayaan, biasanya memiliki opsi atau kebijakan kredit untuk sejumlah kasus khusus, termasuk di dalamnya kebijakan untuk nasabah yang suatu saat, maaf, misalnya bercerai. Hampir semuanya sama, namun ada hal -hal khusus, yang tentunya secara spesifik berbeda. Jangan sungkan tuk menghubungi petugas dan menanyakan soal itu.

Sumber link berita : 

 1. Pandemi Korona Dongkrak Angka Perceraian

Salam,
Sumbawa NTB, 08 September 2020
03.12 WITA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun