Setelah lunas hampir setahun lamanya, beliau kembali menghubungi saya dan berniat ajukan kredit multiguna sekian juta.Â
Berangkatlah saya ke rumahnya. Mereka tinggal di desa, jaraknya kurang lebih 20 kilometer dari kantor. Meski desa, namun tak desa-desa amat. Maksudnya jalan sudah beraspal dan kondisi rumahnya adalah bangunan batu bata berlantai satu tipe 36. Beliau menerima saya dengan baik namun tak terlihat sang istri.
"Mana istrinya Pak?", tanya saya karena pasangan harus juga menandatangani kontrak.
Perasaan sudah tak enak. Sejak awal bekerja, saya dan juga mungkin teman -teman yang bekerja di bidang pembiayaan, sudah diajarkan sejumlah gejala yang menunjukkan ketidakharmonisan calon nasabah dan pasangan lewat bahasa tubuh dan pengamatan. Jadi feeling-nya sudah mengarah ke sana.
"Istri saya sakit, lagi di kamar. Bisa saya bawa berkasnya ke kamar? Masnya tunjukkan saja di lembaran mana tanda tangannya, nanti saya bawa ke istri", katanya
Makin bertambah penasaran. Berkelebat di pikiran, beneran sakit apa sang istri tak setuju nih.Â
"Maaf Pak, aturan kantor, saya harus melihat dan foto pada saat bapak dan ibu menandatangani sebagai bukti ke bagian kredit. Bahwa prosesnya benar dan bukan rekayasa", kata saya menjelaskan lantaran SOP-nya memang begitu.
Baru saja selesai bicara begitu, muncul sang istri tiba-tiba dari dalam kamar. Masih mengenakan daster dengan mata sembab, sepertinya habis menangis.
"Buat selingkuhanmu kau ambil uang itu? Belum cukup kau bikin sakit hati aku?", katanya dengan nada keras pada sang suami yang duduk bersama saya di ruang tamu.
Seketika saya kaget. Sang suami berusaha menenangkan istrinya namun terlambat. Malah terjadi keributan dan pertengkaran di depan saya. Nada saling meninggi. Ditingkahi bunyi piring dan sendok berubah posisi.Â
Membuat saya akhirnya merapihkan berkas dan memasukkan mapnya dalam tas, lalu mohon izin permisi dan meninggalkan rumah mereka untuk berbalik ke kantor.