Mohon tunggu...
Aditya N. Perdana
Aditya N. Perdana Mohon Tunggu... Genre Analyst-Story Crafter

Menulis seputar film dan serial dari sudut pandang genre, narasi, dan pengembangan cerita. Termasuk eksplorasi ide-ide orisinal. Untuk bisnis dan kolaborasi: https://linktr.ee/adityanperdana

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

FINALE! She-Hulk: Defending Wanda, Chapter 7: I See You Again?

16 September 2025   21:08 Diperbarui: 16 September 2025   21:08 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cover Chapter 7 menggunakan bantuan AI

Jen berusaha menyelamatkan sang sepupu dengan menyeretnya keluar dari mobil. Namun, saat melakukan hal itu, darah Bruce tak sengaja terjatuh ke lengan Jen, mengubahnya menjadi She-Hulk. Inilah kisah asal muasal wanita hijau raksasa yang telah mengubah hidup seorang Jen untuk selamanya.  

Tapi…kali ini semua berbeda. Kemunculan tiba-tiba pesawat luar angkasa tersebut tidak membuat Jen langsung membanting setir. Sebaliknya, dia berhasil menginjak rem dengan sigap, lalu melaju mundur ke belakang sejauh mungkin. Anehnya, pesawat tersebut tidak mengejar mereka. Tidak ada kecelakaan. Tidak ada DNA Hulk yang tercecer.

Sejak saat itu, hidupnya mengalir normal sebagai seorang pengacara di firma kecil. Setiap pagi, dia menatap cermin, tersenyum tipis, untuk menjalani hari-harinya yang jauh dari kekacauan superhero. Suatu hari, ekspresinya bergetar sejenak, seperti…ada suara ‘dong’ yang jauh. Atau mungkin dia hanya mengalami migrain ringan. Hidup ini terasa damai…terasa…damai.

Hari berganti hari. Di kantor firma hukumnya, Jen kedatangan seorang pengacara tunanetra dari New York, Matthew “Matt” Murdock. Bukan! Matt bukan Daredevil, si Iblis Hell’s Kitchen, yang mengenakan kostum merah-emas. Dia hanya seorang pengacara cerdas dengan senyum hangat. Kali ini…semua berbeda.

Percikan cinta muncul perlahan, yang dimulai dari menghabiskan waktu bersama sambil minum kopi. Bulan berganti bulan, mereka secara rutin bertemu dan…terjadilah hal itu. Lamaran di bawah lampu senja. Jen tanpa sadar meneteskan air mata bahagia. Hidupnya pun kini lengkap.

Pernikahan mereka cukup sederhana. Bertempat di gereja yang dipenuhi wangi bunga. Tamu-tamu yang hadir pun hanya keluarga dan para sahabat. Foggy Nelson, yang seharusnya sudah tewas (lihat Daredevil: Born Again Season 1), terlihat begitu bahagia, dan bersorak sebagai best man. Sedangkan, Karen Page berdiri di sisinya sambil tersenyum lembut, ikut bahagia untuk Matt.

Tahun berganti tahun, Jen melahirkan seorang anak perempuan cantik. Kini, tangisan sang bayi menggantikan keheningan malam. Suatu ketika, Jen yang sedang duduk santai di dapur, kembali mendengar suara ‘dong’. Kali ini, lebih keras, membuat Jen terdiam sejenak di dapur dengan alis berkerut. Dia melanjutkan hari, teralihkan dengan kebahagiaan yang terasa…asing. Atau mungkin karena Jen baru pertama kali menjalaninya saja.

Suatu sore, Jen berdiri di ruang tamu sambil breaking the fourth wall, seperti kebiasaannya. “Kalian nonton, kan?” katanya ke arah “kamera”. Berbeda kali ini…Matt mendekat, bingung. “Kamu sedang apa, Jen?”, nada khawatirnya menusuk. Dari sudut matanya, Jen melihat dirinya sendiri, seperti orang gila yang berbicara sendiri.

Tanpa sadar, dia terduduk di ranjang rumah sakit yang dikelilingi dinding-dinding putih membosankan dan bau obat menyengat. Keluarga dan para sahabat menjenguknya, tapi…Tapi entah kenapa Jen merasa asing dengan mereka. “Kenapa aku ada di rumah sakit? Apa yang terjadi sebenarnya?”, tanya Jen, kebingungan.

‘Dong’, suaranya benar-benar jelas sekarang, mengguncang kepalanya dengan lebih kuat. Jen merintih dan berusaha teriak minta tolong kepada mereka, termasuk Matt sang suami. Tetapi mulutnya hanya bergerak tanpa makna, dan orang-orang hanya keheranan melihatnya. Jen berdiri dari kasurnya, tersungkur ke lantai sambil memegang kepalanya. Suara ‘dong’ tidak hanya jelas, tapi terdengar berkali-kali, membuat Jen marah dan frustrasi.

Dengan tangan gemetar, Jen memukul keras lemari di dalam kamar rawatnya sambil berteriak melepaskan amarah. Sekali pukul, dua kali pukul, dan seterusnya. Kayu pun retak, hancur berkeping-keping, dan serpihan beterbangan. Matanya melebar dan jantungan berdegup kencang. Dia bingung darimana kekuatan ini muncul. Tak peduli, Jen melanjutkan pukulan terkerasnya yang menghancurkan lemari dan tembok yang menahannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun