Pukul dua pagi. Kota ini ternyata belum sepenuhnya benar-benar tertidur. Namun entah kenapa dengan hatiku malah lebih dulu kehilangan arah.Dibalik jendela kamarku yang tak pernah terbuka dengan sempurna itu, aku menyusun bait demi bait pertanyaan yang tak pernah selesai ku tujukan. Tentangmu~ dan segala hal yang tak sempat menjadi "kita".
Hujan terjatuh dengan pelan-pelan dibalik jendela kamarku yang tak pernah terbuka sempurna itu, tidak deras, tidak juga rintik. Seperti sesuatu yang sedang menahan tangis, namun diriku tahu Ia tak sanggup diam sepenuhnya. Lampu kamar kuning yang redup, dan laptop yang masih terbuka entah sudah beberapa saat mati mungkin karena habis daya. Aku tak benar-benar mengerjakan sesuatu di laptop itu. Aku hanya sekedar membuka dan menyalakannya saja.
Kau tak pernah tau seberapa sering aku menunggu pagi bukan karena benar-benar ingin melihat matahari, tapi karena berharap sekali saja, ada pesan masuk darimu. Sebaris kalimat. Sekata kabar. Bahkan satu titik saja kau kirimkan karena ibu jarimu tergelincir. Tapi ternyata masih tetap sama. "Tidak ada".
Yang ada hanyalah kekosongan yang sunyi dan kian menua
Nama lengkap mu masih kusimpan rapih dalam kontak ku, tapi sudah lama sekali tidak muncul notifikasi darimu. Apakah kau pernah membayangkan tidak, bahwa tanpa kau tahu~ada seseorang di luar sana yang diam-diam tersenyum setiap kali melihat story-mu. Dia hanya melihat tanpa berkomentar apapun, namun tanpa Ia sadari keadaan hatinya tiba-tiba merasa lega dan juga tenang karena tahu dirimu masih baik-baik saja.
Terkadang, aku mengira bahwa kamu mengetik sesuatu lalu menghapus nya lagi.
Ahh sial
Ternyata aku hanya sedang mencari-cari alasan agar dirimu tetap hidup terus menerus dalam pikiranku.
Kita pernah duduk bersebelahan tanpa banyak bicara. Kau memperhatikan burung Pipit, aku menatapmu. Kau menyukai diam, dan aku belajar menyukai itu karena bersamamu, dengan diam jadi bentuk paling jujur dari perasaan bukan?
"Apakah burung Pipit itu makhluk yang jahat, karena memberi makan anak-anaknya dari hasil mengambil padi yang ditanam petani?" Katamu waktu itu.
Aku terdiam, tak siap dengan pertanyaan seaneh dan seserius itu. Tapi begitulah kamu. Kadang kamu bisa membicarakan langit, kadang kemiskinan, lalu tiba-tiba tentang seekor burung kecil yang membawa beban moral begitu besar di pundaknya yang mungil itu.
"Kalau si Pipit punya pilihan lain, mungkin Ia juga akan menanam padi," jawabku pelan, nyaris seperti gumaman.
Kau tertawa kecil. Lalu menatapku seolah ingin bilang, kamu tak pernah benar-benar mengerti aku, tapi kamu tak membantah jawabanku.
Sejak hari itu, aku sering melihat Pipit dengan cara pandang yang berbeda. Di ladang, di kabel listrik, di sela-sela genting yang retak. Mungkin seperti aku memandangmu---kecil, jauh, dan sering datang tanpa bisa dipanggil.
Dan waktu berjalan seperti biasa: tanpa ampun. Kita tak pernah bertengkar, tak pernah pula saling meninggalkan. Tapi perlahan, kita menjauh. Entah karena kesibukan, entah karena tak ada cukup keberanian untuk menyebut apa yang sebenarnya terjadi. Kamu menjadi nama yang hanya muncul di mimpi, atau pada lagu-lagu yang tak sengaja kudengar di beranda tiktok ku saat itu.
Pada akhirnya aku tersadar bahwa hal yang paling menyakitkan adalah mencintaimu.
Adakah yang paling menyakitkan daripada mencintai kehampaan? Tanyaku pada diri sendiri.
Segala rasa tertumpuk menjadi satu, tapi tak satu pun punya tempatnya berteduh. Aku hanya ingin kau, sebab segala bahagia kutemukan ketika di dekatmu. Tapi nyatanya takdir, tak pernah menuliskan namaku di kisah kehidupanmu yang panjang ini. Mungkin ada namaku, tapi tidak untuk waktu yang panjang.