Membaca Pantun "Burung Pipit hingga Kopi Pahit" Melalui Lensa Teori Strukturalisme SemiotikOleh: Eko Windarto Pantun yang sederhana namun bernas seper
Pantun Burung Pipit hingga Kopi PahitBurung pipit di ujung dahan,Terbang riang sambut pagi cerah.Sekian kata kami sampaikan,Mohon maaf jika ada s
Di balik jendela kamar yang tak pernah terbuka sempurna
‘Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekor pun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak BapaMu.’
Namun tak ada bantuan datang meski sejenak dan akhirnya pipit terkurung selamanya dalam sangkar inda
Puisi ini saya buat untuk menggambarkan seekor burung pipit, hewan kecil yang seringkali kita temui di sekitar kita.
Setiap orang berhak tetap setia walaupun sudah di sakiti
Senyum Burung Pipit Melihat Padi yang Mulai Menguning
Di sebuah galaksi yang sangat jauh, hiduplah sebuah bintang kecil bernama Pipit.
andai aku bisa merentangkan sayap, meninggalkan semua beban, menggapai langit yang luas
Saya dengan dagu berlangsung Pipit dan pipi berlangsung Pipit
Pilihlah pemimpin yang memiliki integritas, kompetensi, dan visi yang jelas untuk membangun Indonesia yang lebih baik
Setiap pemimpin bertanggungjawab terhadap rakyat dan atas segala kekuasaannya
Agustus datang lagi. Kali ini membawa serta gelombang panas. Angin kencang pun ikut membonceng. Ah, agustus kerontang.
Sebuah pagi eksotis di pinggiran kota Kajen, Pekalongan.
Masa kecil selalu membahagiakan. Sekalipun sederhana, sangat menyenangkan. Apalagi bermain bersama teman yang sangat menyenangkan pula.
Kematian pipit muda yang diutus menemui sepasang elang ternyata tak sia-sia. Ini aku, utuslah diriku.
Burung Pipit merupakan salah satu jenis burung pemakan biji bijian, yang menyerang atau memakan melai padi
Sejak pagi itu, ke mana pun Srintil pergi, empat puluh burung pipit siap menernbangkannya.
Mereka bukan pipit kebanyakan, bulu halus tua kecoklatan, kepala putih bak kopiah rohaniwan