Mohon tunggu...
rifai mukin
rifai mukin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pengawas Sekolah

Membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kisah Burung Pipit Dan Cicak, Filosofi Memaknai Tanggungjawab (Memilih Pemimpin Yang Amanah)

17 Februari 2024   12:30 Diperbarui: 17 Februari 2024   16:26 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Siapapun yang akan menjadi pemimpin di negeri gemah ripah loh jinawi ini, sesungguhnya sudah tercatat di lauhul mahfudz. Hidup manusia tidak terlepas dari takdir (qadarullah). Di berbagai zona keyakinan, agama-agama samawati dan ardiyah menerima ini sebagai kehendak Allah. Menjadi pemimpin, tanggungjawabnya tidak berhenti di dunia saja, tapi juga akhirat. Pemimpin dalam buku Muhamad Fu'ad Abdul Baqi, Shahih Bukhari Muslim menjelaskan "Kalian semuanya pemimpin (pemelihara) dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Seorang raja adalah pemimpin bagi rakyanya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya," kata Rasulullah SAW (Nabilah, 2023). Segala hal yang engkau lakukan dicatat dan akan diminta pertanggungjawabamu di mana engkau berpihak, kebenaran ataukah sebaliknya?

Dalam tulisan ini penulis kembali mengangkat kisah dari para syufi tentang "Burung Pipit dan Cicak" Kisah burung pipit dan cicak adalah salah satu kisah yang inspiratif yang mengajarkan nilai-nilai moral, termasuk rasa tanggungjawab seseorang terhadap apa yang mereka lakukan. Begini kisah pendeknya.

Nama Namrudz, Raja Babilonia yang hidup dari tahun 2275 SM hingga 1943 SM, sering dikaitkan dengan Nabi Ibrahim Alaihis Salam (AS). Keturunan Namrudz adalah Nabi Nuh AS; silsilah lengkapnya adalah Namrudz bin Kan'an bin Kush bin Ham bin Nuh AS. Namrudz adalah orang pertama yang mendeklarasikan diri sebagai raja atas semua tuhan atau manusia. Akibatnya, Nabi Ibrahim Alaihis Salam menentang pengakuannya sebagai tuhan (wikipedia.org, 2024).

Raja Namrud membakar Nabi Ibrahim AS di masa lalu. Saat itu, seekor burung pipit kecil yang penuh semangat berusaha memadamkan api dengan menggunakan paruhnya untuk membawa air setetes demi setetes. Seekor cicak mengejek burung pipit saat melihat upayanya dan bertanya, "Apa yang kamu lakukan?" Upaya Anda sia-sia! Api ini tidak dapat dipadamkan dengan sedikit air.

"Aku tahu aku tidak dapat memadamkan api ini sendirian. Tapi, aku tidak ingin diam saja melihat Nabi Ibrahim AS disiksa. Aku ingin melakukan apa pun yang saya bisa, semampu yang saya bisa," jawab burung pipit.

Cicak terus saja mentertawakannya dan mengejeknya. "Hay pipit yang totol, lakukan saja sesuka hatimu, bila kau mampu, karena engkau tidak akan pernah mampu memadamkan api yang berkobar itu." Burung pipit tetap melakukan pekerjaannya, sudah tentu hanya kepada Allah, dia berharap. Karena burung Pipit berkeyakinan, bahwa Allah akan meminta pertanggungjawabanya di kelak kemudian hari, apa yang telah ia lakukan.

Kisah ini mengajarkan kita tentang filosofi tanggung jawab yang sangat penting dalam kehidupan. Berikut beberapa poin penting yang dapat diambil dari kisah ini:

Melakukan yang Terbaik: Burung pipit dalam kisah ini menunjukkan bahwa meskipun ia kecil dan lemah, ia tidak berdiam diri. Ia melakukan yang terbaik dengan kemampuannya untuk membantu Nabi Ibrahim AS. Kita pun harus memiliki semangat yang sama dalam menjalankan tanggung jawab kita.

Tanggung Jawab Moral: Burung pipit merasa terpanggil untuk membantu Nabi Ibrahim AS meskipun ia tidak memiliki hubungan langsung dengannya. Hal ini menunjukkan bahwa ia memiliki tanggung jawab moral untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Kita pun harus memiliki rasa tanggung jawab moral untuk membantu orang lain, terutama mereka yang sedang kesusahan.

Kontribusi Kecil Berarti: Upaya burung pipit mungkin terlihat kecil dan tidak signifikan, namun ia tetap berkontribusi dalam upaya memadamkan api. Kita pun harus memahami bahwa setiap kontribusi, sekecil apa pun, dapat memberikan dampak positif.

Keikhlasan: Burung pipit tidak mengharapkan pujian atau imbalan atas usahanya. Ia hanya ingin membantu Nabi Ibrahim AS dengan tulus. Kita pun harus memiliki keikhlasan dalam menjalankan tanggung jawab, tanpa mengharapkan pamrih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun