Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Teman Curhat "Habis-habisan" Setelah Putus Cinta? Dengarkan Saja!

28 Juni 2017   09:07 Diperbarui: 4 Juli 2017   01:12 1500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: www.spousebusters.com.au

Pernah punya teman yang ujuk-ujuk datang, lalu curhat "habis-habisan" setelah putus cinta dengan kekasihnya? Saya pernah, dan itu terjadi belum lama ini.

Namun demikian, saya enggak akan menceritakan secara lebih detail penyebab "kandas"-nya kisah asmaranya. Bagi saya, itu adalah wilayah paling "sensitif" yang harus dijaga baik-baik alias sangat privasi.

Makanya, pada tulisan ini, saya cuma akan berfokus membahas sikap yang perlu diambil sewaktu menyimak curhat kawan yang lagi galau-galaunya itu.

Biarpun menyimak curhat seseorang itu terkesan "gampang" dilakukan, nyatanya, sewaktu mencobanya, kita akan mendapat "tantangan" sendiri. Siapapun yang "pernah" atau bahkan "sering" menyimak curhatan temannya pasti memahami maksud saya.

Ya, kita memang harus banyak-banyak bersabar, melapangkan dada, dan menguat mental, sebab sewaktu kita duduk mendengarkan persoalannya, ada saja dorongan dalam hati kita untuk menyela ucapannya dan langsung memberinya solusi atas permasalahannya.

Iya, kan?

Semua itu terjadi karena kita merasa cukup paham terhadap persoalannya sehingga enggan menyimak semua keluh-kesahnya sampai selesai. Pada saat itulah, sebelum dia menuntaskan semua ceritanya, kita sudah "menginterupsi" dan menyodorinya "jalan keluar" yang menurut versi kita baik dilakukan.


Walaupun kita punya niat baik dalam membantu menyelesaikan masalahnya, bukan berarti kalau sikap itu sudah "tepat". Bisa saja, kemudian, dia menjadi kesal karena kita sering "memangkas" curhatannya sembarangan. Bisa saja, suasana yang tadinya kondusif berubah menjadi "gerah" lantaran kita terus-terusan menyela pembicaraannya.

Semua itu tentu akan semakin "mengaduk" suasana hatinya dan dapat menyemai "bibit-bibit" kemarahan karena dia menganggap kita sebagai seseorang yang kurang tahu sopan santun!

Makanya, alih-alih terus memotong curhatannya, alangkah baiknya kalau kita menyimak ceritanya sampai tuntas. Percayalah hal itu akan jauh lebih baik untuk diri kita dan yang lagi "patah hati", sebab, menurut saya, sewaktu seseorang sedang berkeluh kesah tentang suatu masalah, sebetulnya dia sedang membuang "sampah" yang menumpuk di pikirannya.

Semakin lama durasi curhatnya, semakin hebat keluhannya, semakin banyak pula "sampah" batin yang sedang dibersihkan. Makanya, biarkan saja dia mengosongkan semua "sampah" itu dari pikirannya terlebih dulu, baru kemudian kita memberinya nasihat atau saran.

Hal yang sama juga dilakukan sewaktu kita berhadapan dengan orang yang sedang marah. Nah, untuk yang satu ini, memang tugas kita jauh lebih berat dan sukar. Barangkali kita harus membangun "benteng kesabaran" yang cukup tebal untuk menangkis setiap "gempuran" kemarahan orang tersebut.

Sangat jarang memang kita berjumpa dengan seseorang yang bisa menahan diri dengan baik sewaktu "dibombardir" oleh kemarahan orang lain. Saya pribadi bukan tipikal orang demikian.

Selalu saja timbul "pergolakan" hebat di dalam hati saya sewaktu seseorang menyampaikan kemarahannya dalam bahasa yang kasar. Ada keinginan yang kuat untuk langsung membalasnya.

Saya selalu merasa bahwa itu adalah respon alamiah yang wajar. Sudah banyak penelitian yang menjelaskan bahwa saat suatu individu merasa "diserang", akan muncul dua respon, yaitu "lawan" atau "kabur".

Makanya, dalam situasi "panas" seperti itu, respon yang muncul dalam hati saya adalah "lawan", terutama kalau saya merasa bersikap benar.

Sekilas, respon yang muncul tersebut terjadi secara "naluriah" dan "spontan". Makanya, kita memang sukar mencegah timbulnya kemarahan. Namun demikian, kita masih bisa "memilih" sikap setelah kemarahan itu muncul: apakah kita akan melampiaskan atau justru menahannya?

Kembali ke topik. Seperti telah disebutkan di atas, menyimak curhatan teman itu tugas yang lumayan sulit dilakukan. Kita jelas harus melatih diri agar mampu menjadi pendengar yang baik.

Namun demikian, walaupun sudah terbiasa mendengar kegalauan teman, bukan berarti kita ikut-ikutan galau bersamanya. Ikut merasakan penderitaan seseorang itu memang wajar terjadi, tapi kalau sampai "terjerumus" dalam kesedihan orang lain? Nah, itulah yang harus dihindari.

Makanya, bagi saya, dalam konteks ini, ungkapan "masuk telinga kiri keluar telinga kanan" wajib dilakukan. Jangan sampai kisah pilu yang ditangkap telinga kita terus bertahan selamanya di kepala, lantaran kita begitu "menghayati" kesedihan teman tersebut.

Oleh sebab itu, agar kita enggak "kecipratan" kesedihan yang dialami teman kita sewaktu menyimak ceritanya, barangkali nasihat bijak dari Sarah Dessen berikut ini layak didengar: "Don't think or judge, just listen."

Salam.

Adica Wirawan, founder Gerairasa.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun