Sangat jarang memang kita berjumpa dengan seseorang yang bisa menahan diri dengan baik sewaktu "dibombardir" oleh kemarahan orang lain. Saya pribadi bukan tipikal orang demikian.
Selalu saja timbul "pergolakan" hebat di dalam hati saya sewaktu seseorang menyampaikan kemarahannya dalam bahasa yang kasar. Ada keinginan yang kuat untuk langsung membalasnya.
Saya selalu merasa bahwa itu adalah respon alamiah yang wajar. Sudah banyak penelitian yang menjelaskan bahwa saat suatu individu merasa "diserang", akan muncul dua respon, yaitu "lawan" atau "kabur".
Makanya, dalam situasi "panas" seperti itu, respon yang muncul dalam hati saya adalah "lawan", terutama kalau saya merasa bersikap benar.
Sekilas, respon yang muncul tersebut terjadi secara "naluriah" dan "spontan". Makanya, kita memang sukar mencegah timbulnya kemarahan. Namun demikian, kita masih bisa "memilih" sikap setelah kemarahan itu muncul: apakah kita akan melampiaskan atau justru menahannya?
Kembali ke topik. Seperti telah disebutkan di atas, menyimak curhatan teman itu tugas yang lumayan sulit dilakukan. Kita jelas harus melatih diri agar mampu menjadi pendengar yang baik.
Namun demikian, walaupun sudah terbiasa mendengar kegalauan teman, bukan berarti kita ikut-ikutan galau bersamanya. Ikut merasakan penderitaan seseorang itu memang wajar terjadi, tapi kalau sampai "terjerumus" dalam kesedihan orang lain? Nah, itulah yang harus dihindari.
Makanya, bagi saya, dalam konteks ini, ungkapan "masuk telinga kiri keluar telinga kanan" wajib dilakukan. Jangan sampai kisah pilu yang ditangkap telinga kita terus bertahan selamanya di kepala, lantaran kita begitu "menghayati" kesedihan teman tersebut.
Oleh sebab itu, agar kita enggak "kecipratan" kesedihan yang dialami teman kita sewaktu menyimak ceritanya, barangkali nasihat bijak dari Sarah Dessen berikut ini layak didengar: "Don't think or judge, just listen."
Salam.
Adica Wirawan, founder Gerairasa.com