***
Maka, malam ini pun, kami kembali duduk bersama untuk menikmati segelas anggur. Ia meletakkan buket bunga itu di meja, menyimpan kembali pistol di saku sweater yang dikenakannya, dan duduk dengan santai di kursi.
Sementara itu, aku pergi ke dapur untuk mengambil anggur di kulkas, menyiapkan gelas, dan mengisinya sedikit demi sedikit.
Kemudian, kami duduk berhadapan di meja yang sama. Aku memberinya segelas anggur.
Ia mereguk sedikit anggur, lalu meletakkan gelas di meja, dan mengambil tisu untuk mengeringkan tangannya yang sedikit basah. Di jari manisnya masih terpasang cincin kawin yang terbuat dari emas.
“Kau bilang akan segera bercerai,” kataku, dengan suara tenang.
Sewaktu mendapat pertanyaan itu, ia pun menatapku dengan tajam. Jelas ia tak menyukai pertanyaan itu, tetapi ia masih bisa menahan diri supaya tak mencabut pistol dari sakunya dan memberondong tubuhku dengan peluru.
***
Kata-kataku tampaknya membongkar kembali ingatan tentang pertengkaran kami tempo lalu. Semua itu berawal ketika aku menemukan sebuah cincin kawin di laci kamarnya dan beberapa catatan tentang status perkawinan.
“Mengapa kau menyembunyikan semua ini?” kataku dengan suara geram. Aku sangat kecewa.