Lagipula, ia menyisipkan sebuah pesan di buket bunga itu, yang bunyinya: “Aku sudah membaca artikel yang kamu tulis. Artikel yang bagus, dan aku menyukainya. Terima kasih. Salam hangat. Arnold.” Rupanya ia telah membaca artikel yang kubuat sebelumnya, dan dari situlah, ia menemukan kesempatan untuk menjalin hubungan denganku.
Namun demikian, kali ini, aku tak berkenan menerima buket bunga mawar itu, lantaran barangkali saja itu akan menjadi hadiah terakhir yang akan kuterima.
***
Arnold mencabut sepucuk pistol dari saku sweaternya. Pistol itu dilengkapi oleh peredam suara, sehingga sewaktu ia menembak, hanya terdengar sedikit suara yang keluar dari moncong pistol.
“Sebelum kau membunuhku, bisakah kita minum segelas anggur terlebih dulu?” Kataku, dengan suara pasrah. Mungkin itu adalah permintaan terakhirku, sebelum peluru di pistolnya melesat menembus jantungku.
“Baiklah, mari kita minum satu gelas,” katanya. Wajar saja ia menerima permintaanku karena ia memang suka menenggak anggur.
Dulu sewaktu mengunjungi apartemennya, aku melihat banyak sekali botol anggur yang terpajang di almari. Semuanya anggur bermerek, didatangkan dari luar negeri, dan tentu saja mahal sekali harganya.
Ia kemudian menuangkan segelas anggur untukku, tetapi aku menolak. “Aku tidak minum alkohol,” kataku.
“Yang ini bebas alkohol,” katanya, dan ia memintaku mencicipi sedikit saja.
Aku mencicipi sedikit, dan ternyata rasanya lumayan manis. Sejak saat itu, aku mulai menyukai anggur dan juga aromanya.