Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam Itu, Mantanku Datang Hanya untuk Membunuhku

16 Februari 2017   16:42 Diperbarui: 16 Februari 2017   16:56 1365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
malam itu, mantanku datang hanya untuk membunuhku/ sumber gambar: http://mensxp.com

Seorang mantan pacar biasanya datang kembali untuk merajut tali kasih yang sempat terputus, tetapi mantan yang satu ini justru datang kepadaku karena ia ingin membunuhku.

Namun, aku tak begitu terkejut sewaktu melihatnya menyelinap masuk ke apartemenku secara diam-diam, lantaran aku sudah mengungkap semua identitas aslinya.

Jauh sebelum menyadari hal itu, aku lebih mengenalnya sebagai seorang pria yang menyukai karya seni. Awalnya kami bertemu di sebuah galeri seni, yang diadakan di pusat kota.

Aku datang ke situ lantaran mendapat tugas dari bos untuk membuat liputan. Dari situ kau tentunya sudah bisa menebak apa sebetulnya pekerjaanku. Ya, aku bekerja sebagai seorang jurnalis di sebuah media berita online.

Galeri seni yang aku kunjungi dilangsungkan di sebuah gedung bergaya kolonial. Walaupun sudah berusia 150 tahun lebih, gedung itu masih tampak baik, seolah baru saja dibangun.

Di dalam gedung itu terpajang pelbagai lukisan. Aku bukanlah kritikus seni sehingga kurang mampu menilai letak keindahan pada masing-masing lukisan. Namun, pengunjung yang hadir di situ tampak menikmati lukisan itu.


suasana galeri seni/ sumber gambar: https://www.artgallery.nsw.gov.au
suasana galeri seni/ sumber gambar: https://www.artgallery.nsw.gov.au
Di antara pengunjung yang berseliweran di dalam gedung, mataku tertumbuk pada seorang pria yang sedang berdiri mengamati sebuah lukisan. Ya, ia adalah pria yang kemudian akan datang untuk membunuhku,

Namun, jangan kau langsung membayangkan sosok pembunuh berdarah dingin pada diri lelaki itu. Kau tak akan menemukan wajah yang putus asa, mata yang menatap nanar, atau jenggot yang tumbuh liar pada dirinya.

Sebaliknya, kau malah akan melihat sosok yang rupawan, sebab ia memiliki kulit yang putih bersih, rambut pendek yang tersisir rapi, dan tubuh yang tinggi tegap. Lantaran tertarik, aku pun mendekatinya, memperkenal diri, dan mewawancarainya.

“Saya Arnold,” katanya, memperkenalkan diri. Kemudian, aku pun menanyakan alasannya datang ke situ dan kesannya terhadap acara itu. Ia menjawab semua pertanyaan dengan lugas. Terakhir, aku minta fotonya sebagai bahan dokumentasi.

Walaupun sesudah itu kami berpisah, rupanya pertemuan yang berlangsung singkat itu menjadi awal dari kisah percintaan kami yang penuh liku.

***

Sewaktu menyelinap masuk ke apartemenku, Arnold memakai sweater hitam yang sama, yang pernah ia kenakan sewaktu kami berjalan-jalan di sepanjang tepi Sungai Seine, dan hal itu membangkitkan kembali semua kenangan manis yang pernah kami lalui sebagai sepasang kekasih dulu.

Sebagai sepasang kekasih, kami banyak menghabiskan waktu bersama. Lantaran termasuk pengusaha periklanan yang sukses, ia sering mengajakku pergi jalan-jalan ke pelbagai tempat. Paris, New York, dan Shanghai adalah beberapa tempat yang sempat kami kunjungi.

Satu momen yang masih melekat kuat di dalam ingatanku adalah ketika kami berjalan menyusuri Sungai Seine pada suatu senja. Bagiku, itu adalah momen yang paling indah, karena perjalanan itu menawarkan Sungai Seine yang mengalir perlahan, udara musim semi yang hangat, restoran di atas perahu, turis yang ramah, dan tentunya live music yang lembut, khas Paris.

pemandangan sungai seine, paris, pada sore hari/ sumber gambar: https://wonderfultime.com
pemandangan sungai seine, paris, pada sore hari/ sumber gambar: https://wonderfultime.com
Kami berjalan di sepanjang aliran Sungai Seine, bergandengan tangan, dan saling merangkul satu sama lainnya. Kami melihat senja menyepuh cakrawala dengan warna jingga, dan kami menikmatinya tanpa kata-kata.

“Andaikan aku menikah denganmu,” kataku, secara spontan, seolah luapan emosi yang kurasakan muncul begitu saja. Namun, ia tak memberi jawaban apapun.

Ia hanya menatapku dengan matanya yang cokelat, dan menampilkan seulas senyum yang manis. Dari situ aku mulai membangun sebuah impian untuk membina rumah tangga dengannya.

***

Sebagai seorang mantan kekasih, Arnold punya cara yang romantis untuk menemuiku pada malam ini. Biarpun telah masuk ke apartemenku tanpa izin, ia masih berbaik hati dengan membawakanku sebuket bunga mawar merah.

sebuah buket bunga mawar merah/ sumber gambar: http://images.huffingtonpost.com
sebuah buket bunga mawar merah/ sumber gambar: http://images.huffingtonpost.com
Segera saja, bunga mawar itu mengingatkanku pada bunga yang sama, yang sering dihadiahkan kepadaku secara diam-diam.

Ya, dulu ia memang sering mengirimiku sebuket bunga mawar ke kantor, sehingga rekan kerjaku menjadi cemburu atas perlakuan itu. Aku senang menerima hadiah itu, bukan karena menyukai mawar, melainkan karena ungkapan tulus sebuah persahabatan.

Lagipula, ia menyisipkan sebuah pesan di buket bunga itu, yang bunyinya: “Aku sudah membaca artikel yang kamu tulis. Artikel yang bagus, dan aku menyukainya. Terima kasih. Salam hangat. Arnold.” Rupanya ia telah membaca artikel yang kubuat sebelumnya, dan dari situlah, ia menemukan kesempatan untuk menjalin hubungan denganku.

Namun demikian, kali ini, aku tak berkenan menerima buket bunga mawar itu, lantaran barangkali saja itu akan menjadi hadiah terakhir yang akan kuterima.

***

Arnold mencabut sepucuk pistol dari saku sweaternya. Pistol itu dilengkapi oleh peredam suara, sehingga sewaktu ia menembak, hanya terdengar sedikit suara yang keluar dari moncong pistol.

“Sebelum kau membunuhku, bisakah kita minum segelas anggur terlebih dulu?” Kataku, dengan suara pasrah. Mungkin itu adalah permintaan terakhirku, sebelum peluru di pistolnya melesat menembus jantungku.

“Baiklah, mari kita minum satu gelas,” katanya. Wajar saja ia menerima permintaanku karena ia memang suka menenggak anggur.

Dulu sewaktu mengunjungi apartemennya, aku melihat banyak sekali botol anggur yang terpajang di almari. Semuanya anggur bermerek, didatangkan dari luar negeri, dan tentu saja mahal sekali harganya.

Ia kemudian menuangkan segelas anggur untukku, tetapi aku menolak. “Aku tidak minum alkohol,” kataku.

“Yang ini bebas alkohol,” katanya, dan ia memintaku mencicipi sedikit saja.

bersulang segelas anggur/ sumber gambar: http://www.foodanddine.com
bersulang segelas anggur/ sumber gambar: http://www.foodanddine.com
Lantaran merasa penasaran, aku pun mengambil gelas itu, dan menghirup aroma anggur di dalamnya. Biarpun samar-samar, aku mencium aroma yang wangi, seperti aroma mawar, mawar yang merah.

Aku mencicipi sedikit, dan ternyata rasanya lumayan manis. Sejak saat itu, aku mulai menyukai anggur dan juga aromanya.

***

Maka, malam ini pun, kami kembali duduk bersama untuk menikmati segelas anggur. Ia meletakkan buket bunga itu di meja, menyimpan kembali pistol di saku sweater yang dikenakannya, dan duduk dengan santai di kursi.

Sementara itu, aku pergi ke dapur untuk mengambil anggur di kulkas, menyiapkan gelas, dan mengisinya sedikit demi sedikit.

Kemudian, kami duduk berhadapan di meja yang sama. Aku memberinya segelas anggur.

Ia mereguk sedikit anggur, lalu meletakkan gelas di meja, dan mengambil tisu untuk mengeringkan tangannya yang sedikit basah. Di jari manisnya masih terpasang cincin kawin yang terbuat dari emas.

“Kau bilang akan segera bercerai,” kataku, dengan suara tenang.

Sewaktu mendapat pertanyaan itu, ia pun menatapku dengan tajam. Jelas ia tak menyukai pertanyaan itu, tetapi ia masih bisa menahan diri supaya tak mencabut pistol dari sakunya dan memberondong tubuhku dengan peluru.

***

Kata-kataku tampaknya membongkar kembali ingatan tentang pertengkaran kami tempo lalu. Semua itu berawal ketika aku menemukan sebuah cincin kawin di laci kamarnya dan beberapa catatan tentang status perkawinan.

cincin kawin/ sumber gambar: http://theweddingpress.com
cincin kawin/ sumber gambar: http://theweddingpress.com
Aku minta penjelasan darinya, dan akhirnya ia mengakui semuanya. Ia telah menikah, tetapi penikahannya di ambang kehancuran. Walaupun demikian, ia tak bisa menceraikan istrinya, sebab putrinya yang masih kecil akan menjadi “korban” atas peristiwa itu.

“Mengapa kau menyembunyikan semua ini?” kataku dengan suara geram. Aku sangat kecewa.

Aku merasa telah menjadi semacam “pelarian” atas masalahnya. Maka, aku pun menumpahkan semua kekecewaan itu lewat tulisan di blog.

Ia membaca tulisan itu dan menjadi sangat marah padaku. Kami bertengkar dan akhirnya hubungan kami pun kandas.

Namun, sayangnya, semua reputasinya telah telanjur hancur akibat skandal itu. Ia membenciku dan ingin menghabisiku.

***

“Bisakah kita kembali ke masa lalu, dan memperbaiki semuanya?” Ia bertanya dengan suara yang tertekan, tetapi pertanyaan itu seolah bukan ditujukan kepadaku, melainkan kepada dirinya sendiri.

Kemudian, ia mencabut pistolnya, dan segera saja, aku mengetahui bahwa ajalku sudah dekat. Namun, sebelum ia menembak kepalaku, tiba-tiba saja, ia memegangi kepalanya dan meringis kesakitan.

Ia bangkit dari kursi, lalu tubuhnya langsung ambruk ke lantai. Pistol yang dipegangnya pun ikut terbanting jatuh.

Aku segera memeluk tubuhnya yang mulai kejang-kejang.

“Maafkan aku,” kataku, diiringi suara isak tangis.

Racun yang kububuhkan pada gelas minumannya tampaknya sudah bekerja menjalari pembuluh darahnya.

“Aku mencintaimu, dan akan selalu mencintaimu,” kataku.

Air mataku menitik ke wajahnya. Tubuhnya kemudian berhenti bergerak. Tak lama kemudian, ia menghembuskan napas terakhir dan meninggal dunia di dalam pelukanku.

Aku lalu meraih tangannya, melepaskan cincin kawin di jarinya, lalu membuangnya. Kini ia bukan milik siapa-siapa lagi.

Ia sekarang menjadi milikku, hanya milikku.

Aku pun kemudian mereguk anggur yang masih tersisa di gelasnya, anggur yang berisi racun itu, dan memutuskan mati bersamanya, sehingga kami bisa kembali bersatu di dalam kematian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun