Meski demikian, ada beberapa alasan mengapa publik tidak begitu menggubris ajakan ini.
Pertama, terpengaruh dengan diksi resesi
Presiden Jokowi sendiri dalam beberapa kesempatan bilang ekonomi dunia sedang tidak baik-baik saja. Ancaman resesi kemudian diterima publik dari beragam warta di media massa juga media sosial.Â
Karena ada ketidakpastian inilah publik cenderung menunggu. Ketimbang membelanjakan uang untuk kebutuhan yang nonpokok, publik lebih kerasan menyimpannya. Publik menabung.
Saya menduga, elemen masyarakat yang demikian juga berasal dari kalangan menengah yang wait and see untuk masa depan. Minimal di tahun ini.Â
Tahun 2023 bisa dibilang uji coba kesiapan masyarakat usai pandemi. Oleh karena itu, kecenderungannya menunggu dahulu dalam beberapa bulan ke depan.
Ketidakpastian inilah yang memicu masyarakat menahan uang mereka. Sebagai pengelola media massa daring, saya membacanya demikian.Â
Media massa daring dapat uang salah satunya dari iklan. Ada kerja sama dengan pihak lain untuk urusan advertising juga sumber uang masuk.Â
Klien utama selain pemerintah daerah ialah swasta. Misalnya saja hotel, bank, pusat wisata, partai politik, calon anggota legislatif, dan sebagainya.
Hingga kini memang keinginan membelanjakan uang ke arah situ belum begitu besar. Tadi itu persoalannya.Â
Semua masih menunggu dan melihat ke mana arah ekonomi tahun ini. Karena sama-sama menunggu dan enggan keluar duit, keinginan Presiden tadi belum tercapai menggembirakan.