Kalaupun memberi, barangkali dalam hati, dinawaitukan saja dengan sedekah. Cuma, kalau saban kali sedekah dengan mereka, mungkin kita akan jengkel.
Saya lebih sering bilang, "terus dulu ya Bang" kepada mereka yang berlagak tukang parkir. Biasanya kalau sudah begitu, mereka diam saja.Â
Padahal kalau mereka berakal sehat dan punya sikap merendah hati yang baik, mereka akan tetap membantu saya keluar dari area itu dan memberi tanda kepada pengendara lain bahwa ada kendaraan hendak keluar. Tapi ini kan tidak.
Sekarang tiap Jumat dan Sabtu saya mengantar anak les di sebuah tempat kursus di Bandar Lampung. Ya benar, sudah tentu dong ada tukang parkir.Â
Usai mengantar, saya langsung cabut dan tidak menempatkan kendaraan di depan lembaga kursus itu. Sungguh saya tidak ikhlas meski dua ribu perak diberikan kepada tukang parkir.Â
Masih mending kalau sikapnya baik, senyum, sapa, sopan, dan santun. Kalau mukanya sudah jutek dan kita membayangkan wajah dia isinya pasti motor mobil bawa duit melulu, bawaannya senewen.Â
Saya kemudian pindah parkir ke seberang, sebuah kantor media massa yang pekerjanya banyak teman. Saya bisa nyaman parkir di sana sambil ngopi dan membaca buku atau majalah daring.
Itu urusan dengan tukang parkir yang saya sebut saja ilegal. Bagaimana dengan fasilitas parkir di hotel, mal, rumah sakit, dan instansi publik. Saya tidak ingin mendedahkan soal regulasi tetek bengek lainnya.
Pendek cerita, semua tempat itu semestinya menggratiskan parkir kepada pengunjung. Begini logikanya. Orang datang ke mal misalnya, itu sudah pasti ada yang dicari.Â
Mereka membelanjakan rupiah di sana. Benar membelanjakan itu ke banyak gerai yang ada di mal.Â
Mungkin juga menonton. Pengunjung mengeluarkan banyak uang di sana.