Ada mulut yang mengartikulasikan ujaran. Ada kemampuan memimpin dan sebagainya dan sebagainya.
Bahkan, ada ragam kerjaan tertentu yang membutuhkan keterampilan khusus sampai punya lisensi sertifikat kompetensi tertentu.
Saya menulis, saya mengedit, saya bekerja. Berarti saya layak mendapatkan upah.
Sekarang mari kita sigi apakah tukang parkir layak dapat uang dari hasil memarkirkan kendaraan di lahan yang bukan punya mereka bermodal peluit yang kadang hanya dibunyikan kala kita hendak pergi?
Lahan parkir yang mahaluas seantero Indonesia ini adalah hak publik. Mereka berhak memarkirkan kendaraan mereka sepanjang mereka ada keperluan di sana.Â
Masak iya mau memarkirkan kendaraan di pinggir jalan ketika kita hendak membeli sesuatu di minimarket. Halaman minimarket itu siapa yang punya?Â
Taruhlah si empunya usaha menyewa gedung termasuk dengan halaman parkirnya. Saya hakulyakin berpendapat si empunya usaha juga ingin semua pengunjung bebas memarkirkan kendaraan tanpa dipungut biaya. Karena itu, di beberapa swalayan masih terpacak kencang tulisan "parkir gratis".
Tapi penyakitnya kemudian muncul orang entah dari mana, mungkin dari sekitar situ juga, yang menabalkan diri sebagai tukang parkir. Akhirnya, saban kali kita datang, dua ribu perak mesti dikasih.
Ini tentu merugikan yang punya usaha. Ada beberapa teman, termasuk saya, yang lebih memilih belanja di minimarket lain yang tidak ada tukang parkir dan si manajer toko tegas melarang ada parkir.Â
Nah, kalau ada minimarket yang halamannya dipungli uang parkir, ia akan kehilangan beberapa pelanggan.
Kalau saya, lebih sering tidak membayar ketimbang bayar. Sebab, buat saya, tidak ada hak mereka meminta uang kepada saya.Â