Mohon tunggu...
Adhelano Tuakia
Adhelano Tuakia Mohon Tunggu... wiraswasta -

Supremasi hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kedudukan Hukum Putusan Arbitrase Asing : kasus PT Pertamina Vs Karaha Bodas Company

21 April 2019   12:54 Diperbarui: 21 April 2019   16:20 13702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehari setelah keputusan pengadilan negeri Jakarta pusat, dalam jumpa pers pihak KBC akan mengajukan kasasi ke mahkamah agung berkaitan dengan kekalahan mereka dari pertamina di pengadilan Jakarta pusat, karena menganggap kepusan tersebut tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum dan pihak KBC juga menilai keputusan tersebut meremehkan dasar hukum perdagangan internasional. Kata bishop selaku pemegang saham mayoritas karaha menyatakan " putusan tersebut merupakan sesuatu yang berbahaya dalam perjanjian tentang konflik komersial" sehingga seolah tak ada lagi perlindungan bagi penanam modal diindonesia.

Memang disatu sisi ada unsur force majeur dalam kasus pertamina ini dan saya sangat setuju dengan putusan  ini karena cenderung merugikan pertamina dan pemerintah untuk membayar ganti rugi yang cukup besar 2.2 Triliun dan dendanya tiap tahun itu bukan uang yang sedikit. Akan tetapi ada dampak negative yakni kepastian hukum dan kepercayaan bagi investor yang akan berkurang untuk investasi di Indonesia karena peradilannya di Indonesia dalam beberapa kasus selalu mengabulkan pembatalan putusan arbitrase internasional/ tidak menjalakan eksekusi putusan arbitrase internasional.

Maka pandangan saya secara objektif sebagai mahasiswa hukum juga harus independen dan tidak memihak  bisa dikatakan Secara eksplisit, fenomena putusan yang tidak memperoleh eksekusi bersifat kontradiktif dengan asas executorial recht itu sendiri. Karena pada akhirnya, putusan tersebut tidak dilaksanakan dan seluruh upaya peradilan arbitrase berujung sia-sia. Seharusnya, asas executorial recht yang merupakan salah satu ciri khas putusan arbitrase, diutamakan dan asas-asas lainnya dibentuk seiringan dengan asas executorial recht.

Selain itu sudah seharusnya pihak-pihak yang bersengketa melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela seperti yang telah dikemukakan sebelumnya karena hal ini telah diakomodir oleh asas pacta sunt servanda, yaitu setiap persetujuan yang sah mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak, dan hanya dapat ditarik kembali dengan kesepakatan bersama para pihak.

Sehingga jika kedua belah pihak sudah bersepakat untuk menyelesaikan masalah melalui arbitrase, maka itu adalah keputusan mutlak.  Prof. Sudargo Gautama juga menjelaskan bahwa lembaga ketertiban umum sepatutnya bersifat defensif terhadap hukum asing. Namun dalam kenyataan yang seperti ini, lembaga ketertiban umum justru mematikan dan menutup diri dari hukum asing, dalam kata lain bersifat ofensif.

Selain itu, Indonesia telah melanggar kesepakatan ketika pada akhirnya Indonesia memutuskan untuk turut berpartisipasi dalam Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and National of Other States  atau Konvensi Bank Dunia yang bermaksud untuk mendorong penanaman modal asing dengan meyakinkan pihak investor menyelesaikan sengketa dengan arbitrase. Konvensi ini diratifikasi dengan UU No.5 tahun 1968. Hal ini semestinya menjadi bukti kesungguhan Pemerintah idnoensia untuk menyelesaikan sengketa penanaman modal asing melalu arbitrase.


Selain itu, dengan berlakunya Keppres no. 34 tahun 1981, Indonesia telah mengikatkan diri untuk mengakui dan mematuhi pelaksanaan eksekusi atas setiap putusan arbitrase asing karena demikianlah spirit yang terdapat dalam Konvensi New York 1958. Menurunnya minat investasi asing di Indonesia menjadi salah satu penyebab nyata dari ketidakjelasan hukum, salah satunya dalam hal arbitrasi. Penolakan putusan arbitrasi dengan alasan ketertiban umum hanya justru membuat Indonesia semakin sepi akan investor dan akan berakibat fatal bagi pertumbuhan ekonomi negara.

Dasar Hukum Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Di Indonesia

Pengakuan terhadap keputusan arbitrase asing di Indonesia, telah terjadi sejak dikeluarkannya Keppres No. 34 Tahun 1981, yang mengesahkan Convention On The Recognition And Enforcement Of Foreign Arbitral Award, yang dikenal dengan New York Convention tahun 1958. Salah satu masalah yang sering dibahas adalah masalah bagaimana mengeksekusi putusan arbitrase internasional. Hal ini disebabkan tidak semua putusan arbitrase internasional dapat dieksekusi disuatu negara. Disamping itu cara dan prosedur eksekusi putusan arbitrase internasional juga bervariasi dari suatu negara ke negara lain.

Dengan keluarnya UU No. 30 tahun 1999, tata cara eksekusi putusan arbitrase internasional telah diatur dalam ketentuan pasal 67 sampai pasal 69 Undang-undang arbitrase sebagai pembaharuan ketentuan yang sama yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 1990 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung tersebut merupakan perwujudan dari ketentuan New York Convention. Pasal 67 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Definisi "otentifikasi" adalah menerima atau tahap penerimaan naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati para pihak. Tahap otentifikasi merupakan tahap atau proses pengeasahn terhadap suatu dokumen, contohnya adalah sebuat Putusan Arbitrase Internasional untuk dibenarkan keasliannya. Prosedur permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun