Mohon tunggu...
Adhelano Tuakia
Adhelano Tuakia Mohon Tunggu... wiraswasta -

Supremasi hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kedudukan Hukum Putusan Arbitrase Asing : kasus PT Pertamina Vs Karaha Bodas Company

21 April 2019   12:54 Diperbarui: 21 April 2019   16:20 13702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Abdul Safri Tuakia, SH .

Sebagai negara berkembang Indonesia tidak dapat terlepas dari negara lain, dalam pelaksanaan pembangunannya Indonesia sangat membutuhkan modal yang berasal dari luar negeri. Oleh karena itu Indonesia harus membuka diri untuk melakukan hubungan-hubungan dengan negara lain dalam hal penanaman modal di Indonesia. Namun adakalanya, hubungan tersebut menimbulkan sengketa dikemudian hari dan harus diselesaikan melalui lembaga yang ada, salah satunya adalah Lembaga Arbitrase Internasional.

Dengan diratifikasinya Konvensi New York 1958 dan konvensi ICSID 1965 telah memberikan jaminan bahwa putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia. Tetapi dalam pelaksanaannya, putusan arbitrase asing itu tidak dapat secara langsung dilaksanakan apabila bertentangan dengan ketertiban umum Indonseia. Konvensi New York 1958 merupakan suatu Konvensi Internasional yang memberikan pengakuan atas pelaksanaan putusan arbitrase yang diambil diluar wilayah negara di mana putusan tersebut akan dilaksanakan.

Indonesia meratifikasi konvensi ini pada tahun 1981 melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 dan kemudian pada tahun 1990 lahir Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, didalamnya mensyaratkan bahwa putusan arbitrase asing dapat diterapkan di Indonesia apabila tidak bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia.  

Untuk memenuhi kebutuhan akan adanya proses penyelesaian sengketa yang cepat dan hemat, yaitu Arbitrase Asing, yang merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa dan bersifat Non Konstitusional, serta memiliki prosedural yang jelas dalam pelaksanaannya, yang paling prosedural tersebut ditetapkan atas kompromi pihak-pihak yang bersengketa, karena orang-orang yang di tunjuk menjadi arbitrator adalah expert pada bidang yang dipersengketakan, sehingga hampir tidak ada kemungkinan dihasilkannya putusanyangsalah.

Tidak semua keputusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia, karena dihambat oleh prinsip / asas ketertiban umum. Sampai saat ini masyarakat internasional sudah menyediakan beberapa Arbitrase Internasional, seperti Court of Arbitation Of the International Chamber of Commerce (ICC) yang berkedudukan di Paris, United NationsCommisions on Internasional Trade Law (UNCITRAL), dan International Centre for Settlement of Investmen Dispute (ICSID) yang berkedudukan di Washington.

Namun dalam penerapannya proses penyelesaian sengketa cara ini membutuhkan kerjasama internasional yang pada umumnya dituangkan dalam bentuk konvensi, dan lain-lain, guna menyelaraskan kaidah hukum yang beranekaragam itu. Sehubungan dengan masalah harmonisasi Hukum Internasional, satu hal yang cukup serius adalah masalah pelaksanaan dari suatu putusan yang telah dijatuhkan di suatu negara, untuk dilaksanakan di wilayah negara lain di luar negara dimana putusan tersebut diambil, karena dunia internasional mengenal dan mengakui adanya kedaulatan dari masing-masing negara untuk tidak mengakui putusan apapun juga yang diberikan di luar wilayahnya oleh pemerintah asing, dan tentunya juga untuk tidak melaksanakan isi dari putusan itu.

Hukum internasional mengakui adanya kedaulatan penuh (souvereignity) dari suatu negara di mata Internasional. Ini berarti secara prinsipal, tidak ada suatu negara pun di dunia ini yang dapat memaksakan berlakunya suatuketentuan pada negara lain, dengan cara apapunjuga, selama dan sepanjang hal tersebut tidak sesuai dengan kaedah-kaedah dan sendi-sendi kehidupan bernegara atau dalam arti kata tidak dikehendaki oleh negara lain tersebut.

Negara Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, berupaya untuk meningkatkan perekonomian negaranya. Salah satu upaya tersebut adalah menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Namun yang menjadi permasalahan yang cukup mendasar adalah bahwa hukum Internasional yang mengatur bidang investasi ternyata berkembang agak lambat. Hal ini disebabkan karena kurangnya upaya koordinasi masyarakat Internasional untuk merumuskan aturan-aturan hukum di bidang investasi.

Dalam pelaksanaan penanaman modal asing tersebut, Indonesia memberikan jaminan dan kepastian perlindungan hukum bagi investor melalui  ratifikasi dua Konvensi Internasional, yaitu : pertama, Konvensi ICSID 1965 tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dengan Warga Negara Asing. Konvensi ini ditandatangani pada 18 Maret 1965 dan mulai berlaku tanggal 14 Oktober 1966 setelah dilakukannya ratifikasi oleh 20 Negara. Sampai dengan tanggal 10 April 2006, Konvensi ini telah diratifikasi oleh 143 Negara. Indonesia meratifikasi Konvensi ICSID ini dengan Undang-undang Nomor: 5 Tahun 1968 Tentang: Penyelesaian Perselisihan Antara Negara Dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal (LN 1968/32; TLN NO. 2852).

Kedua, Konvensi tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing (Convention On The Recognition And Enforcement Of Foreign Arbitral Awards -- New York Convention 1958) yang diundangkan dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981, Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 41 tanggal 5 Agustus1981. Indonesia menyatakan keikutsertaannya dengan Konvensi New York 1985 yaitu suatu konvensi PBB tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.

Keputusan Presiden tersebut, yang meskipun telah disahkan untuk diberlakukan di Indonesia tahun 1981,namun pelaksanaannya baruefektif tahun 1990 dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah AgungNomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing tanggal 1 Maret 1990. Dengan berbagai macam peraturan-peraturan yang telah berlaku tersebut maka diharapkan investor akan menjadikan Indonesia sebagai tujuan penanaman modal yang menarik baginya, karena telah mendapat jaminan dan kepastian perlindungan hukum bahwa putusan yang telah diperolehnya di luar negeri dapat dilaksanakan terhadap debitur yang asetnya berada diIndonesia. Salah satu sengketa arbitrase yang terjadi yaitu antara Pertamina dan karaha bodas company berikut kajian dan ulasannya.

Para Pihak dalam Sengketa

1. Penggugat:
Karaha Bodas Company L.L.C (KBC)
Adalah suatu perseroan terbatas yang didirikan dan bergerak berdasarkan hukum Kepulauan Cayman yang berkedudukan di Gedung Plaza Aminta Suite 901, Jl. T.B. Simatupang, Kav. 10, Jakarta 12310, Indonesia.
2. Tergugat\
a. Tergugat 1 Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (P.T. Pertamina)P.T. Pertamina adalah suatu perusahaan yang didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 Tentang Pertamina dan dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia.

b. Tergugat 2 P.T. Perusahaan Listrik Negara (P.T. PLN) P.T. PLN adalah suatu perusahaan negara yang tunduk pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1998 Tentang...adalah perusahaan yang mengusahakan penyediaan listrik kepada masyarakat umum di Indonesia.

Latar Belakang Sengketa

Pada tanggal 28 November 1994, disepakati dua kontrak sebagai bagian dari Proyek Karaha. Kedua kontrak tersebut adalah:

1) Kontrak Operasi Bersama (Joint Operation Contract/ "JOC")

Kontrak ini menetapkan bahwa Pertamina bertanggung jawab untuk mengelola pengoperasian geothermal di dalam proyek karaha tersebut dan KBC berperan sebagai kontraktor. KBC diwajibkan untuk mengembangkan energy gheotermal di daerah proyek dan membangun, memiliki dan mengoperasikan tenaga listrik.

2) Kontrak Penjualan Energi (Energy Sales Contract/ "ESC")

Berdasarkan kontrak ini PLN setuju untuk membeli tenaga listrik dari Pertamina yang diproduksi, dipasok, dan disediakan oleh pembangkit tenaga listrik yang dibangun oleh KBC. Sebagai kontarktor bagi Pertamina berdasarkan JOC, KBC, atas nama Pertamina dan berdasarkan ESC, berhak untuk memasok dan menjual tenaga listrik berkapasitas sampai 400 Mw kepada PLN dari Proyek Karaha.

Pada Tahun 1997 timbul krisis moneter dan menimpa Indonesia. International Monetary Fund (IMF) meminta kepada pemerintah Republik Indonesia untuk meninjau kembali proyek-proyek pembangunan. Selain itu harus diteliti lebih lanjut, apakah pembayaran proyek dengan valuta asing US dollar masih dapat dipertahankan.

Pada tanggal 20 September 1997 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1997. Berdasarkan Kepres tersebut sebanyak 75 proyek ditunda termasuk Proyek Karaha. Selanjutnya pada tanggal 1 November 1997 dikeluarkan Keputusan Presiden No. 47 Tahun 1997 yang berisi perintah agar beberapa proyek yang tertunda termasuk Proyek Karaha dilanjutkan kembali. Pada tanggal 10 Januari 1998, Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 dikeluarkan. Keputusan ini membatalkan kepres sebelumnya dan mengkomfirmasi penundaan Proyek Karaha.

Pertaminan telah menyetujui untuk membantu KC dalam usaha melanjutkan kembali proyek ini, akan tetapi ternyata dua minggu setelah diajukan permohonan oleh Pertamina, pihak KBC telah menyatakan berlakunya klausula " force majeure" dan telah menghentikan pelaksanaan kontrak yang bersangkutan. Pada tanggal 30 April 1998, KBC telah memberitahukan kepada Pertamina dan PLN bahwa mereka akan mengajukan suatu klaim kepada arbitrase berdasarkan JOC dan ESC.

Jalannya Sengketa

KBC mengajukan klaim kepada arbitrase Jenewa Swiss sebagaimana yang disepakati oleh para pihak mengenai forum yang dipilih para pihak untuk menyelesaukan sengketa dalam JOC. Pendirian KBC sebagai penggugat adahaf sebagai berikut:

*KBC menuduh bahwa tergugat melanggar kewajiban mereka membayar menurut JOC dan ESC dengan cara antara lain mencegah KBC untuk menyelesaiakan pembangunan unit-unit pembangkit listrik tenaga secara keseluruhan dengan kapsitas 400 Mw.

*KBC menyatakan tergugat berdasarkan JOC dan ESC telah menyetujui menanggung risiko tindakan pemerintah dan oleh sebab itu Kepres No. 30 Tahun 1997 dan Kepres No. 5 Tahun 1998 bukan merupakan alasan untuk tidak memenuhi kontrak.

Adapun KBC menuntut ganti rugi akibat pelanggaran kontrak yaitu kerugian yang termnasuk dalam pembayaran atas kerugian sebesar US$ 96.000.000 kemudian kompensasi akibat kehilangan keuntungan sebesar US$ 512.500.000, selanjutnya sebagai alternative ganti rugi untuk keuntungan diperhitungkan jumlah pembayaran yang harus diterima adalah US$ 437.000.000. Secara alternatif diminta pembatalan kontrak dan kerugian secara alternative dan pelaksanaan secara khusus.

Pengadilan Arbitrase Jenewa pada tanggal 18 Desember 2000 membuat putusan agar Pertamina dan PLN membayar ganti rugi kepada KBC skurang lebih sebesar US$ 270.000.000 yang terdiri ganti rugi atas hilangnya kesempatan mendapatkan keuntungan (opportunity lost) sebesar US$ 111.100.000 dan bunga 4% sejak tahun 2001 sebesar US$ 150.000.000. KBC mengajukan permohonan untuk melaksanakan putusan arbitrase di pengadilan beberapa negara di mana aset-aset Pertamina berada, kecuali di Indonesia yaitu:

*Pada tanggal 21 Februari 2001, KBC meminta U.S District Court for The Southern District Court of Texas untuk melaksanakan putusan arbitrase Jenewa;

*KBC mengajukan permohonan agar semua aset anak perusahaan Pertamina yang berada di Singapura disita termasuk Petral;

*Pada tanggal 30 Januari 2004, KBC meminta Pengadilan New York untuk menahan aset Pertamina dan Pemerintah Republik Indonesia yang besarnya hingga 1, 044 miliar dollar USA. Adapun permintaan tersebut ditolak dan hakim menetapkan agar Bank of America dan Bank of New York melepaskan kembali dana sebesar US$ 350.000.000 kepada Pemerintah RI sedangkan yang tetap ditahan adalah dana 15 rekening adjucated account di Bank of America sebesar US$ 296.000.000 untuk jaminan.

Analisis Hukum

Proyek PLTP Karaha merupakan proyek pengembangan listrik tenaga panas bumi 400 Mega Watt (MW). Ada dua kontrak yang diteken pada 28 November 1994. Yaitu (i) Joint Operation Contract antara Pertamina dan KBC (berkaitan dengan pengembangan lapangan panas bumi) dan (ii) Energy Sales Contract antara antara Pertamina, KBC, dan PLN yang akan bertindak sebagai pembeli tenaga listrik yang dihasilkan. Namun, karena krisis ekonomi dan atas rekomendasi International Monetary Fund (IMF), pada 20 September 1997 presiden melalui Keppres No.39/1997 tentang Penanggguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, BUMN, Dan Swasta Yang Berkaitan Dengan Pemerintah/BUMN.

Kepres tersebut menangguhkan pelaksanaan proyek PLTP Karaha sampai keadaan ekonomi pulih. Selanjutnya, pada 1 November 1997 melalui Kepres No.47/1997 proyek diteruskan. Namun, berdasarkan Keppres No.5/ 1998 pada tanggal 10 Januari 1998 proyek kembali di tangguhkan. Meski akhirnya pada 22 Maret 2002 pemerintah melalui Keppres No.15/2002, berniat melanjutkannya proyek. Selanjutnya, didukung juga dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.216K/31/MEM/2002 tentang Penetapan Status Proyek PLTP Karaha dari Ditangguhkan Menjadi Diteruskan. Dari rentetan kisah ini, penangguhan proyek PLTP Karaha bukan kehendak Pertamina murni. Tapi, dalam rangka menjalankan kebijakan pemerintah. Sehingga Keadaan Force Majeur juga berlaku bagi pertamina.

Bahkan, kebijakan pemerintah pun dilatarbelakangi rekomendasi International Monetary Fund (IMF) yang dibuktikan dengan Letter of Intent Pemerintah RI kepada IMF untuk menanggulangi krisis ekonomi. Tentu saja, krisis itu sendiri (dan sudah diakui internasional) bukan kehendak pemerintah. Artinya, penangguhan proyek merupakan dampak ikutan krisis ekonomi yang di luar kontrol Pemerintah RI. Apalagi Pertamina. Dihentikannya suatu kontrak oleh salah satu pihak (bukan kesepakatan para pihak), dalam kacamata hukum, dapat disebabkan oleh wanprestasi (default atau non fulfilment) atau force majeur (keadaan yang memaksa).

Titik tolak yang membedakan keduanya adalah kehendak membatalkan kontraknya. Jika niat mengakhiri kontrak merupakan kehendak bebas salah satu pihak, maka ia wanprestasi. Sedangkan, jika kegagalan salah satu pihak memenuhi prestasi dalam kontrak disebabkan situasi di luar kontrol salah satu pihak, sehingga dalam keadaan terpaksa dan kejadiannya tidak dapat diprediksikan, disebut force majeure.

Keadaan yang terkategori dalam force majeur (diantaranya) kebijakan pemerintah/peraturan, bencana alam (banjir, gempa bumi, gunung meletus), perang, kerusuhan, dan pemberontakan bersenjata. Jika pembatalan kontrak disebabkan oleh wanprestasi, maka pihak yang dirugikan layak mendapat ganti rugi. Namun, tidak demikian jika disebabkan oleh force majeure. Sebab, force majeur kejadiaanya di luar kehendak para pihak dan sangat tidak bisa diperkirakan.

Secara general, peristiwa force majeure sering dikaitkan dengan suatu kejadian yang disebabkan oleh kekuatan yang lebih besar biasanya berupa gempa bumi, banjir, gunung meletus (acts of god), perang, kerusuhan, tindakan pemerintah, tindakan teroris, dan lain-lain yang menghalangi pihak untuk berprestasi terkait suatu perjanjian. Atas dasar adanya force majeure ini, pihak yang tidak berprestasi tersebut dibebaskan dari ganti rugi karena perbuatannya dianggap bukan sebagai tindakan wanprestasi.

Akibat tidak adanya suatu definisi yang tegas terhadap force majeure, beragam interpretasi muncul termasuk dari para ahli hukum sehingga tidak jarang perbedaan interpretasi itu berujung masalah di kemudian hari. Biasanya, salah satu upaya para pihak untuk mencegah perbedaan interpretasi mengenai force majeure adalah dengan memasukkan secara terperinci mengenai keadaan-keadaan yang dianggap sebagai force majeure. Hal tersebut ternyata tidak cukup malah cenderung semakin mengaburkan gambaran mengenai force majeure. Ditambah lagi perkembangan teori force majeure relatif dan absolut. Hal ini menyebabkan force majeure memiliki dimensi yang luas dan harus dilihat secara kasus per kasus untuk penetapannya.

KUH Perdata tidak mengenal istilah force majeure tetapi Pasal 1244 KUH Perdata mengatur bahwa debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tak terduga, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya.
Lebih lanjut, Pasal 1245 KUH Perdata mengatur bahwa para pihak tidak harus membayar biaya kerugian dan bunga apabila salah satu pihak berhalangan berprestasi akibat dari kejadian memaksa atau kejadian yang tidak terduga atau akibat hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. KUH Perdata tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang disebut sebagai keadaan memaksa, hal tidak terduga dan perbuatan yang terlarang tersebut.

Dengan demikian, penangguhan proyek PLTP Karaha oleh Pertamina adalah force majeure. Namun, KBC tidak peduli akan alasan yang menjadi dasar ditangguhkannya proyek tesebut. Terbukti, pada April 1998 KBC menggugat Pertamina melalui Arbitrase Internasional di Swiss. Dari total gugatan ganti rugi KBC kepada Pertamina sebesar US$560 juta (US$100 kerugian proyek yang sudah dilaksanakan untuk eksplorasi 8 sumur dan 20 sumur kecil oleh KBC juta plus nilai keuntungan yang akan diterima), Arbitrase "hanya" mengabulkan klaim KBC senilai US$ 261 juta.

Arbitase Internasional di tahun 2000 telah mengabulkan gugatan KBC dengan menghukum Pertamina membayar ganti rugi US$261 juta (.US$111,1 juta untuk kerugian pengeluaran dan US$150 juta untuk kerugian keuntungan (lost of profit) ditambah bunga empat persen per tahun sejak 1 Januari 2001). Berdasarkan pasal 5 ayat (2) huruf b dari Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award tanggal 10 Juni 1958 ("Konvensi New York 1958") Indonesia telah meratifikasinya dengan Keppres No.34/1981- ditetapkan bahwa permohonan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional dapat ditolak karena bertentangan dengan ketertiban umum (public policy/orde public).

Alasan menolak dengan senjata bertentangan dengan ketertiban umum memang sangat fleksibel. Bahkan kadang terkesan sangat subyektif. Khususnya bagi pihak negara yang dikalahkan. Secara umum ketertiban umum diartikan sebagai ketertiban, kesejahteraan dan keamanan, keadilan, atau tidak bertentangan dengan hukum. Dengan mempertimbangkan penangguhan proyek yang didasarkan pada kebijakan negara yang tertuang dalam Keppres, maka pada 27 Agustus 2002 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan Pertamina untuk menolak pelaksaan keputusan arbitrase Internasional. Alasannya, bertentangan dengan ketertiban umum sebagaimana dimungkinkan oleh pasal 66 UU No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Jadi langkah yang dilakukan pertamina itu sudah tepat untuk melakukan pembatal putusan arbitrase di pengadilan Jakarta pusat agar supaya asset pertamina di Indonesia tidak disita dan tidak membayar ganti rugi karena menurut Menteri Pertambangan dan Energi Purnomo Yusgiantoro memberikan klarifikasi untuk kasus Karaha Bodas, Harga paiton I US$ 8,5 sen/kwh, harga Karaha 7.2 sen dolar/kwh. Sebelum KBC itu ada harga listrik swasta yang lebih tinggi yaitu Sarua, PLTA Salak.

Jadi tidak benar dikatakan harga KBC itu tinggi. Tapi, pada waktu terjadi arbitrase listriknya belum nyala. Sebenarnya belum ada yang rugi. Yang terjadi, dalam Kontrak Operasi Bersama (KOB) KBC dan Pertamina, mereka baru melakukan eksplorasi, lalu terkena keppres dan listriknya belum nyala. Karena listriknya belum nyala PLN belum bayar.  Jadi yang keluar uangnya siapa? Uang yang keluar itu dari investor untuk melakukan eksplorasi. Jadi karena pada 1998 itu belum ada listrik yang nyala, belum ada transaksi komersil antara KBC dengan PLN. Jadi seharusnya tidak ada kerugian karena proyeknya belum jalan. Dan jika harga listriknya

Dalam kasus ini Pertamina dianggap telah melakukan wanprestasi dan dihukum membayar ganti rugi. Argumen Pertamina bahwa Pertamina bukan tidak ingin melaksanakan kewajiban atau prestasinya dalam Proyek tersebut melainkan diakibatkan oleh Keputusan Presiden yang menangguhkan Proyek tersebut akibat krisis ekonomi (Keppres No. 39/1997 dan Keppres No. 5/1998) tidak diterima oleh Majelis Arbiter Arbitrase Jeneva, Swiss karena hal tersebut dianggap bukan sebagai force majeure.

Hal ini patut menjadi pelajaran bagi kita semua. pendapat pribadi saya jelas mengganggap hal tersebut merupakan suatu keadaan memaksa menurut hukum Indonesia karena Pertamina tidak dapat melaksanakan kewajibannya akibat peraturan yang dikeluarkan Pemerintah saat itu dan tidak mungkin bagi Pertamina untuk melanggar Keppres tersebut.

Kendatipun pengadilan di Indonesia dalam putusannya menyatakan membatalkan putusan arbitrase kemenangan tersebut tidak lebih dari kemenangan di atas kertas belaka dan tidak memiliki kekuatan eksekusi. Hampir tidak ada suatu negara yang bersedia melaksanakan eksekusi putusan pengadilan dari yurisdiksi yang berbeda. Lagi pula, yang terpenting dari pelaksanaan putusan arbitrase adalah mengenai eksekusinya, dan eksekusi dilakukan pada tempat di mana terdapat aset atau kekayaan salah satu pihak.

Dalam kasus ini, ternyata diketahui bahwa aset Pertamina ada di Amerika, Hongkong dan Singapura. Di negara-negara tersebut lah diajukan permohonan eksekusi terhadap putusan arbitrase dan putusan pengadilan di Indonesia tidak akan menjangkau yurisdiksi tersebut
Berikutnya Pertamina mengajukan berbagai upaya hukum untuk membatalkan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional di pengadilan luar negeri tempat aset Pertamina. Mengajukan penolakan terhadap keputusan Pengadilan Arbitrase Jenewa di swiss karena Yang punya kewenangan untuk membatalkan putusan arbitrase Jenewa hanyalah pengadilan di Swiss. Mengajukan penolakan pelaksanaan Putusan Pengadilan Arbitrase Jenewa di pengadilan-pengadilan di negara mana KBC mengajukan permobonan pelaksanaan putusan Pengadilan Arbitrase Swiss.

Adapun beberapa kejangalan dalam putusan arbitrase internasional, UNCITRAL dijenewa yaitu:
1. Pengankatan arbiter tidak dilakukan seperti yang telah diperjanjikan dan tidak di angkat arbiter yang telah dikehendaki oleh para pihak berdasarkan perjanjian.
2. Pertamina tidak diberikan proper notice mengenai arbitrase ini dan tidak diberi kesempatan untuk membela diri
3. Majelis arbitrase telah salah menafsirkan force majeur sehingga mestinya pertamina tidak dapat dipertanggung jawabkan atas sesuatu yang diluar kemampuannya.
4. Majelis arbitrase dianggap melampaui wewenang karena tidak menggunakan hukum Indonesia padahal hukum Indonesia adalah yang harus dipakai menurut kesepakatan para pihak.
5. Majelis arbitrase hanya menggunakan hati nuraninya sendiri berdasarkan pertimbangan ex aequeo et bono

Perkembangan kasus

majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan gugatan Pertamina. Putusan tersebut memerintahkan kepada tergugat atau siapapun yang dapat hak daripadanya untuk tidak melakukan tindakan apapun termasuk pelaksanaan putusan pengadilan arbitrase yang ditetapkan di Jenewa Swiss tanggal 18 Desember 2000. Adapun putusan Pengadilan Arbitrase Jenewa, Swiss dnyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Majelis hakim yang diketua Henry Swantoro mengabulkan gugatan tertulis pertamina dan memerintahkan KBC untuk tidak melakukan tindakan apa pun, termaksud eksekusii putusan arbitrase dan menetapkan denda sebesar US$ 500 ribu perhari apabila KBC tidak mengindahkan larangan tersebut. Tentu saja itu ditanyakan oleh rambun tjaja ( pengacara KBC di Indonesia).

"Berdasarkan putusan arbitrase, bentuk pembatasn harusnya permohonan bukan gugatan, dan yang berhak mengajukan pembatalan itu adalah arbitrase" ujarnya Keluarnya putusan pengadilan negeri Jakarta pusat itu memang membuat perakara ini tambah seu, sebab menurut pengadilan distrik texas, pertamina dianggap melecehkan pengadilan (contemp of court). Dengan kata lain, pertamina dinilai menentang otoriatas pengadilan Amerika Serikat. Pasalnya, sebelum pengadilan negeri Jakarta pusat mengabulkan gugatan privisi pertamina. Pengadilan distrik Texas telah mengeluarkan suatu perintah penghentian sementara pertamina berpartisispasi dalam pengadilan Jakarta.

Pertimbangan majelis hakim bahwa keputusan arbitrase internasional dianggap telah melampaui kewenangan arbitrase sendiri. Majelis hakim juga menyatakan pengadilan negeri Jakarta mempunyai wewenang megadili kasus gugatan pertamina untuk membatalkan hasil arbitrase internasional. Karena pada butir ketiga keputusan tersebut , majelis hakim berpendapat bahwa keputusan arbitrase sangat memungkinkan dengan menggunakan yurisdiksi Indonesia sehingga kasus KBC harus menggunakan hukum berlaku diindonesia(berdasarkan konvensi 1958 yaitu new York convention.

Sehari setelah keputusan pengadilan negeri Jakarta pusat, dalam jumpa pers pihak KBC akan mengajukan kasasi ke mahkamah agung berkaitan dengan kekalahan mereka dari pertamina di pengadilan Jakarta pusat, karena menganggap kepusan tersebut tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum dan pihak KBC juga menilai keputusan tersebut meremehkan dasar hukum perdagangan internasional. Kata bishop selaku pemegang saham mayoritas karaha menyatakan " putusan tersebut merupakan sesuatu yang berbahaya dalam perjanjian tentang konflik komersial" sehingga seolah tak ada lagi perlindungan bagi penanam modal diindonesia.

Memang disatu sisi ada unsur force majeur dalam kasus pertamina ini dan saya sangat setuju dengan putusan  ini karena cenderung merugikan pertamina dan pemerintah untuk membayar ganti rugi yang cukup besar 2.2 Triliun dan dendanya tiap tahun itu bukan uang yang sedikit. Akan tetapi ada dampak negative yakni kepastian hukum dan kepercayaan bagi investor yang akan berkurang untuk investasi di Indonesia karena peradilannya di Indonesia dalam beberapa kasus selalu mengabulkan pembatalan putusan arbitrase internasional/ tidak menjalakan eksekusi putusan arbitrase internasional.

Maka pandangan saya secara objektif sebagai mahasiswa hukum juga harus independen dan tidak memihak  bisa dikatakan Secara eksplisit, fenomena putusan yang tidak memperoleh eksekusi bersifat kontradiktif dengan asas executorial recht itu sendiri. Karena pada akhirnya, putusan tersebut tidak dilaksanakan dan seluruh upaya peradilan arbitrase berujung sia-sia. Seharusnya, asas executorial recht yang merupakan salah satu ciri khas putusan arbitrase, diutamakan dan asas-asas lainnya dibentuk seiringan dengan asas executorial recht.

Selain itu sudah seharusnya pihak-pihak yang bersengketa melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela seperti yang telah dikemukakan sebelumnya karena hal ini telah diakomodir oleh asas pacta sunt servanda, yaitu setiap persetujuan yang sah mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak, dan hanya dapat ditarik kembali dengan kesepakatan bersama para pihak.

Sehingga jika kedua belah pihak sudah bersepakat untuk menyelesaikan masalah melalui arbitrase, maka itu adalah keputusan mutlak.  Prof. Sudargo Gautama juga menjelaskan bahwa lembaga ketertiban umum sepatutnya bersifat defensif terhadap hukum asing. Namun dalam kenyataan yang seperti ini, lembaga ketertiban umum justru mematikan dan menutup diri dari hukum asing, dalam kata lain bersifat ofensif.

Selain itu, Indonesia telah melanggar kesepakatan ketika pada akhirnya Indonesia memutuskan untuk turut berpartisipasi dalam Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and National of Other States  atau Konvensi Bank Dunia yang bermaksud untuk mendorong penanaman modal asing dengan meyakinkan pihak investor menyelesaikan sengketa dengan arbitrase. Konvensi ini diratifikasi dengan UU No.5 tahun 1968. Hal ini semestinya menjadi bukti kesungguhan Pemerintah idnoensia untuk menyelesaikan sengketa penanaman modal asing melalu arbitrase.

Selain itu, dengan berlakunya Keppres no. 34 tahun 1981, Indonesia telah mengikatkan diri untuk mengakui dan mematuhi pelaksanaan eksekusi atas setiap putusan arbitrase asing karena demikianlah spirit yang terdapat dalam Konvensi New York 1958. Menurunnya minat investasi asing di Indonesia menjadi salah satu penyebab nyata dari ketidakjelasan hukum, salah satunya dalam hal arbitrasi. Penolakan putusan arbitrasi dengan alasan ketertiban umum hanya justru membuat Indonesia semakin sepi akan investor dan akan berakibat fatal bagi pertumbuhan ekonomi negara.

Dasar Hukum Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Di Indonesia

Pengakuan terhadap keputusan arbitrase asing di Indonesia, telah terjadi sejak dikeluarkannya Keppres No. 34 Tahun 1981, yang mengesahkan Convention On The Recognition And Enforcement Of Foreign Arbitral Award, yang dikenal dengan New York Convention tahun 1958. Salah satu masalah yang sering dibahas adalah masalah bagaimana mengeksekusi putusan arbitrase internasional. Hal ini disebabkan tidak semua putusan arbitrase internasional dapat dieksekusi disuatu negara. Disamping itu cara dan prosedur eksekusi putusan arbitrase internasional juga bervariasi dari suatu negara ke negara lain.

Dengan keluarnya UU No. 30 tahun 1999, tata cara eksekusi putusan arbitrase internasional telah diatur dalam ketentuan pasal 67 sampai pasal 69 Undang-undang arbitrase sebagai pembaharuan ketentuan yang sama yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 1990 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung tersebut merupakan perwujudan dari ketentuan New York Convention. Pasal 67 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Definisi "otentifikasi" adalah menerima atau tahap penerimaan naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati para pihak. Tahap otentifikasi merupakan tahap atau proses pengeasahn terhadap suatu dokumen, contohnya adalah sebuat Putusan Arbitrase Internasional untuk dibenarkan keasliannya. Prosedur permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional :

1.Lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai dengan ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia;

2.Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan

3.Keterangan dari perawkilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yan menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

Yang diberi wewenang menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan Pengakuan serta Pelaksanaan Putusan Arbitase Asing adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan Arbitrase Asing hanya diakui serta dapat dilaksanakan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

a.Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional;

b.Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;

c.Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;

d.Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan

e.Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase Asing itu nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia (ketertiban umum). Jadi secara peraturan perundang-undangan putusan Arbitrase dapat di eksekusi di Indonesia dan mempunyai dasar hukum yang kuat.

Kesimpulan
Pengakuan terhadap keputusan arbitrase asing di Indonesia, telah terjadi sejak dikeluarkannya Keppres No. 34 Tahun 1981, yang mengesahkan Convention On The Recognition And Enforcement Of Foreign Arbitral Award, yang dikenal dengan New York Convention tahun 1958. Dengan keluarnya UU No. 30 tahun 1999, tata cara eksekusi putusan arbitrase internasional telah diatur dalam ketentuan pasal 67 sampai pasal 69 Undang-undang arbitrase sebagai pembaharuan ketentuan yang sama yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 1990 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung tersebut merupakan perwujudan dari ketentuan New York Convention. Pasal 67 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dalam kasus ini Pertamina dianggap telah melakukan wanprestasi dan dihukum membayar ganti rugi. Argumen Pertamina bahwa Pertamina bukan tidak ingin melaksanakan kewajiban atau prestasinya dalam Proyek tersebut melainkan diakibatkan oleh Keputusan Presiden yang menangguhkan Proyek tersebut akibat krisis ekonomi (Keppres No. 39/1997 dan Keppres No. 5/1998) tidak diterima oleh Majelis Arbiter Arbitrase Jeneva, Swiss karena hal tersebut dianggap bukan sebagai force majeure.

*Tulisan ini diambil dari tugas Paper S2 saya di Pascasarja FH UII  Pps Hukum Bisnis.

By: Abdul Safri Tuakia SH. MH.

Public Defender at LBH Yogyakarta

LKBH Dwi Nawa Yogyakarta

Staff Legal - Corporate Lawyer

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun