Mohon tunggu...
Ade SetiawanSimon
Ade SetiawanSimon Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Scribo Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Beras Lenyap di Negeri Sembada

11 Maret 2023   17:38 Diperbarui: 11 Maret 2023   17:44 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: doc. pribadi

Bruder Anton bercerita di asrama kami pun stok beras hampir tamat, sudah susah menerima pasokan baru saat ini, kini kapal datang ke pulau kami dengan lambung-lambung kapal yang kosong seperti orang kelaparan, mereka mengangkut apa pun yang dimiliki oleh kami untuk di isi ke dalam lambung kapal, cuma sedikit karung beras dan tepung mereka tinggalkan di dermaga lalu lenyap bibalik horizon garis samudra dan menyisahkan perkara bagi penduduk pulau di dermaga. Kami di pulau saling adu mulut dan fisik soal siapa boleh dapat jatah pembagian beras dan tepung yang tak seberapa. 

Bruder Anton melanjutkan untuk mensiasati itu jagung giling ditambah takarannya untuk dicampur dengan beras, menurut bruder Anton beras saat ini menjadi simbol memanusiakan manusia bagi kelompok masyarakat modern; setiap orang atau masyarakat disamaratakan oleh penguasa, membuat penyeragaman budaya, bahasa hingga jenis makanan apa yang harus dimakan rakyat tanpa melihat dan mengerti terlebih dahulu budaya serta lingkungan tempat orang tumbuh dalam kelompok dan masyarakat. Mungkin ini cara penguasa agar kelompok masyarakat tak lagi memiliki pengetahun ketahanan pangan dan menggantungkan seluruh hajat hidup pada mereka sehingga tak lagi membikin onar dan memberontak.

Leluhur pendahulu kami adalah petani ladang, mereka hidup dan membangun komunitas dengan tradisi berladang yang kemudian diteruskan oleh para keturunannya. 

Sampai dengan kini pun para orang tua kami masih mempertahankan tradisi bertani para pendahulunya, mereka mematok petak-petak yang tersedia untuk dijadikan sebagai kebun, dalam lahan itu ditanamilah umbi-umbian, beberapa jenis kacang, beberapa jenis terong, pohon pisang; bila musim penghujan tiba lahan ditanam jagung dan kacang rambat. 

Semuanya ini adalah panganan lokal yang selalu tersedia di dapur mama kami di kampung setiap harinya, karena itu tak pernah rasanya kami mengalami situasi kelaparan. 

Selain itu pula para orang tua suka beternak ayam kampung, kambing, babi dan sapi. Ternak ini bisa digunakan untuk dikonsumsi walapun tujuan utama dari ternak ini adalah sebagai pemasukan tambahan bagi keluarga yang punya nilai jual tinggi di pasar atau sebagai hewan hantaran pada hajatan keluarga besar.

Bagi wilayah kami saat ini, makan nasi melambangkan status atau posisi keluarga dalam lingkungan masyarakat sedangkan mereka yang masih mengkonsumsi jagung atau ubi adalah masyarakat tertinggal. Jauh sebelum ada program cetak sawah dilahan dan hutan warga, orang terdahulu kami makan dari apa yang dihasilkan tanah; ubi, jagung, kacang-kacangan, pisang dan beberapa tanaman lokal jadi sumber nutrisi keluarga sementara itu untuk pemenuhan protein para lelaki akan pergi masuk ke dalam hutan berburu madu, kuskus, ayam hutan, babi dan bila beruntung dapat rusa. 

Semua bahan makanan ini disediakan oleh tanah dan hutan kami; setiap ulayat serta keluarga memiliki tanah garapan dan hutan adat, dari sanalah keadilan pangan diciptakan nenek moyang kami. Semuanya mulai berubah ketika kompeni tinggal di tanah kami, mula-mula menguasai pelabuhan dan tanah ulayat, melebeli pohon hau meni - cendana  yang tumbuh di hutan dan dibelakang rumah kami sebagai hau plenat -- kayu pemerintah karenanya pohon keramat ini tak dapat lagi dipanen untuk dijual, selanjutnya menguasai seluruh hajat hidup kami.

Setelah kompeni tinggalkan pulau, pemerintah baru kami menggunakan aturan yang sama untuk mengatur duduk berdiri kami, hutan ulayat dijadikan hutan negara yang mengartikan bahwa segala sesuatu yang ada di atas tanah maupun yang ada di dalam perut hutan menjadi milik negara. 

Hutan masih dapat kami masuki namun kehidupan di dalam hutan sudah berubah, lebah hijrah dari hutan ke tebing-tebing karang, tak ada lagi madu di dalam hutan; Cendana tak dapat lagi dipanen masyarakat; para lelaki sulit masuk ke hutan untuk mencari sumber protein bagi keluarga di rumah. Sebagian dari hutan dan lahan kami diambil untuk dijadikan sawah; belum lagi sumber  oe leu - air pemali  miliki ulayat dipergunakan untuk mengairi sawah jadi masalah baru bagi para petani yang saling rebut untuk mengairi petak-petak sawah baru.

Rupanya republik banyak berkiblat ke tiongkok yang sukses membangun budaya pangan di negeri sungai kuning sebagai sentral pangan dunia, namun anak-anak republic ini lupa kalau para dinasti tiongkok sedari abad 5 SM membangun kanal besar dan tertua di dunia untuk keperluan pengairan pertanian, perdagangan dan transportasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun