Mohon tunggu...
Irman Triharyanto
Irman Triharyanto Mohon Tunggu... Arsitek

simpel2 aja, gak mau ribet, sedikit romantis dan melankolis. Mencoba menghadirkan nostalgia masa lalu melalui tulisan...

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Arya, Si Anak Terbuang (Bab 7)

1 Agustus 2025   14:22 Diperbarui: 1 Agustus 2025   14:22 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 7 -- Pasukan Semut Hitam

Mbah Gondo memberinya tugas pertama yang benar-benar menguji nyalinya: menghajar si Cepot, pencopet remaja yang berani melanggar aturan wilayah. Cepot nekat mencuri di terminal tengah, area yang kini dikuasai anak-anak semut hitam---kelompok kecil yang diam-diam dibangun Arya bersama Mamat, Joni, dan Teti. "Kalau lo biarin, lo habis," kata Mbah Gondo, suaranya serak seperti gesekan besi. "Jalanan itu rimba. Yang gak punya taring bakal dimakan."

Arya tahu ia harus memberi contoh, bukan hanya untuk Cepot, tapi untuk setiap mata yang mengintai dari bayang-bayang. Nama yang ia ukir di terminal ini---Arya---harus menjadi peringatan, hukum tak tertulis yang membuat preman berpikir dua kali sebelum melangkah ke wilayahnya.

Di belakang gerbong kontainer yang berkarat, Cepot nongkrong bersama dua temannya, mengisap lem dari kantong plastik sambil tertawa-tawa seperti hyena. Cahaya lampu neon yang rusak berkedip di atas mereka, menciptakan bayang-bayang yang menari liar di dinding. Bau lem dan bensin menyengat, bercampur dengan rintik hujan yang tak henti. Arya datang sendiri, tanpa pisau, tanpa pasukan, hanya dengan asbak baja yang ia genggam erat, logam dingin itu seperti jantungan yang berdenyut di tangannya.

"Cepot," panggil Arya, suaranya pelan namun tajam, seperti silet yang baru diasah.

Cepot menoleh, matanya merah akibat lem, senyum mengejek di wajahnya. "Oh, lo yang katanya bos baru?" katanya, suaranya penuh ejekan. Ia bangkit, tubuhnya lebih tinggi dari Arya, tangannya memegang pisau lipat yang berkilat. Dua temannya tertawa, tapi tawa mereka terhenti saat melihat sorot mata Arya---dingin, kosong, seperti kematian yang berjalan.

Arya tak menjawab. Ia melangkah mendekat, satu langkah, dua langkah, setiap gerakan penuh perhitungan. Teman-teman Cepot merasakan hawa bahaya, naluri mereka lebih cepat dari kata-kata. Mereka kabur, menyelinap ke dalam kegelapan, meninggalkan Cepot sendirian. "Gue gak tau kalo itu wilayah lo, sumpah..." kata Cepot, suaranya mulai gemetar, langkahnya mundur hingga punggungnya menyentuh dinding kontainer.

Terlambat.

Asbak baja itu menghantam pipinya dengan dentuman keras, suara logam bertemu tulang menggema di antara tenda-tenda plastik yang basah. Darah muncrat, beberapa tetes mendarat di jaket Arya, hangat dan lengket. Cepot tersungkur, tangannya memegangi wajahnya, pisau lipatnya jatuh ke lumpur. Tapi Arya tak berhenti. Ia mengayunkan asbak itu lagi, menghantam bahu Cepot, lalu sekali lagi ke perutnya. Setiap pukulan terasa seperti pelepasan---kemarahan atas Si Hitam, atas luka di tulang sikunya, atas dunia yang terus mencoba menghancurkannya. Cepot mengerang di tanah, tubuhnya meringkuk seperti anjing tertabrak, darah bercampur lumpur di wajahnya.

Arya jongkok di depannya, napasnya berat, tangannya masih menggenggam asbak yang kini berlumur darah. "Lo boleh miskin. Boleh lapar. Tapi gak boleh ngelawan aturan," katanya, suaranya rendah namun penuh kuasa. "Jalanan ini ada etikanya." Ia bangkit, meninggalkan Cepot yang mengerang di lumpur, tangisnya samar menyatu dengan rintik hujan. Di kejauhan, beberapa anak jalanan mengintip dari balik karung, mata mereka penuh kagum dan takut.

Arya kembali ke kolong jembatan, tempat api kecil menyala di antara tumpukan kayu basah. Mbah Gondo sudah menunggu, duduk di atas drum oli seperti raja jalanan yang telah kehilangan takhtanya. Asap rokoknya membentuk lingkaran di udara, seperti doa tanpa kata. "Gimana rasanya?" tanyanya, tanpa menoleh.

"Berat," jawab Arya, suaranya pelan, tangannya masih gemetar memegang asbak baja.

Mbah Gondo tersenyum tipis, matanya menatap bara api yang menyala lambat. "Karena lo masih manusia. Tapi dunia ini bakal coba matiin sisa kemanusiaan lo. Jangan biarin."

Arya duduk di sampingnya, menatap api yang menari-nari. Di dadanya, ia merasakan candu itu lagi---rasa kuasa yang mengalir seperti darah, membuatnya ingin lebih, ingin menguasai lebih banyak. Tapi kata-kata Mbah Gondo menggema di kepalanya, seperti ayat Bang Jaka yang kini selalu ia bawa: hukum jalanan bukan soal benar atau salah, tapi soal dampak. "Lo mukul dia bukan karena benci," lanjut Mbah Gondo, "tapi karena semua anak lain ngeliat. Lo itu pesan. Lo itu peringatan. Lo itu hukum yang gak tertulis."

Arya diam, tapi di hatinya, ia mulai memahami. Dunia ini tidak butuh pahlawan yang mulia. Dunia ini butuh seseorang yang bisa membuat takut, agar yang lemah bisa merasa aman, meski hanya sejenak. Ia mengeluarkan asbak baja dari saku, menatap noda darah yang mengering di permukaannya. Dengan ujung pisau kater, ia mengukir goresan kecil di sisi asbak---goresan pertama dari puluhan luka yang kelak akan menjadi sejarahnya di jalanan.

Malam itu, pasar belakang berbisik lebih keras. Kabar tentang Arya yang menghajar Cepot menyebar seperti api di antara anak-anak jalanan dan pedagang. "Bocah peluru," begitu mereka menyebutnya, nama yang lahir dari selongsong kosong yang selalu ia bawa. Pedagang mulai menyisihkan roti atau pisang untuknya, bukan karena kasihan, tapi karena takut. Anak-anak kolong jembatan mulai mendekati Mamat, Joni, dan Teti, ingin bergabung dengan anak-anak semut hitam, kelompok kecil yang kini menjadi bayang-bayang menakutkan di terminal.

Di bawah langit yang masih menangis hujan, Arya duduk di atap terminal, tempat favoritnya untuk melihat kota dari kejauhan. Lampu-lampu berkelap-kelip seperti bintang yang tak pernah ia capai, namun kini ia tahu: bintang-bintang itu bukan tujuannya. Tujuannya adalah lorong-lorong gelap di bawah, tempat hukum tak tertulis berlaku, tempat ia harus terus bergerak, terus bertahan. Asbak baja di tangannya terasa lebih berat, goresan di permukaannya seperti janji---janji bahwa ia akan terus mengukir namanya, bukan hanya di logam, tapi di hati dunia bawah yang liar ini.

Tapi di kejauhan, dari balik gerbong kontainer dan tenda-tenda plastik, sepasang mata mengintainya. Bukan mata preman biasa, bukan pula satpam atau pedagang. Mata itu milik seseorang yang lebih tua, lebih licik, dan jauh lebih berbahaya---seseorang yang tahu bahwa kehadiran Arya adalah ancaman bagi kekuasaan lama di terminal. Dan Arya, dengan insting yang telah diasah oleh Mbah Gondo, merasakan tatapan itu, seperti angin dingin yang membelai tengkuknya. Ia tahu, perangnya baru dimulai.

-------

Langit pagi itu mendung, seolah menahan tangis yang belum tumpah, menyelimuti terminal dalam bayang-bayang kelabu. Suara klakson angkot, teriakan kernet yang memaki penumpang, dan bau solar yang menyengat menciptakan simfoni liar yang hanya dimengerti oleh mereka yang hidup di dunia bawah. Di bawah kolong jembatan, Arya duduk di atas drum bekas yang berkarat, matanya tajam mengamati kerumunan yang mulai memadati terminal. Tangannya memutar-mutar batu kecil yang ia temukan di selokan, bukan karena gugup, tapi karena ia sedang menghitung---menimbang langkah, merencanakan perang. Di sekitarnya, anak-anak jalanan lalu-lalang, sebagian mengamen dengan kaleng susu berkarat, sebagian mengintai peluang mencopet dari tas penumpang yang lengah. Tapi lima anak berdiri melingkar di hadapannya, tubuh mereka kurus, kulit legam terbakar matahari, namun mata mereka menyala seperti puntung rokok di kegelapan.

Mereka bukan siapa-siapa, hanya sampah yang dibuang oleh dunia. Tapi hari itu, Arya memberi mereka nama, identitas, tujuan: Pasukan Semut Hitam.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun