Bang Jaka menatapnya lama, matanya penuh campuran kagum dan kasihan. "Kalau gitu, pastikan lo bawa peluru sendiri. Dunia nggak akan ngasih lo senjata kecuali lo rampas." Ia merogoh saku jaketnya yang usang dan mengeluarkan dua benda: selembar kertas lusuh berisi potongan ayat yang ditulis tangan, dan selongsong peluru kosong yang berkarat. "Ini buat lo," katanya. "Ingat, kalau satu hari lo harus milih antara nembak atau diem... liat dulu siapa yang berdiri di seberang."
Arya menerima kedua benda itu, jari-jarinya merasakan berat peluru kosong dan kelembutan kertas ayat. Ia menyimpannya di saku dalam jaketnya, di dekat pisau kater dan batu dalam kaus kaki. Malam itu, saat ia kembali ke kolong jembatan, ia merasa berbeda. Ia bukan lagi anak jalanan yang hanya mencuri untuk bertahan. Ia mulai berubah menjadi senjata---tajam, dingin, dan siap digunakan.
Kabar tentang Arya yang menghantam preman mabuk menyebar seperti api di pasar belakang. Pedagang ikan mulai menunduk hormat saat ia lewat, anak-anak kolong jembatan berbisik tentang "bocah peluru" yang tak takut apa pun. Bahkan si Mamat, Joni, dan Teti---trio kecil yang kini setia mengikutinya---mulai menatapnya dengan kagum, seolah ia adalah legenda yang sedang lahir. Tapi Arya tak peduli pada bisik-bisik itu. Ia hanya peduli pada pelajaran Mbah Gondo dan ayat-ayat Bang Jaka, yang kini menjadi kompasnya di dunia yang penuh pengkhianatan.
-----
Arya berdiri di atap terminal, tempat favoritnya untuk melihat kota dari kejauhan. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang tak pernah ia capai. Di tangannya, selongsong peluru kosong itu berkilat redup, dingin di kulitnya. Di saku, kertas ayat itu terlipat rapi, seperti doa yang belum terucap. Di bawah, anak-anak kecil yang mengikutinya tidur di trotoar, saling merapat dalam dingin, tubuh mereka kecil namun penuh tekad.
Arya menghela napas, dadanya terasa berat. Ia tahu, dengan setiap langkah yang ia ambil, ia semakin jauh dari bocah yang dulu gemetar di tumpukan sampah. Ia kini adalah senjata, ditempa oleh luka, dendam, dan pelajaran dari dunia bawah. Tapi di balik semua itu, ia juga tahu, perangnya baru dimulai. Di luar terminal, di lorong-lorong gelap pasar belakang, ada musuh yang lebih besar, lebih licik, menunggu untuk mengujinya. Dan Arya, dengan pisau di saku, batu di pinggang, dan ayat di hatinya, siap untuk menghadapi apa pun---atau siapa pun---yang berdiri di seberang.
------
Terminal terasa seperti makhluk hidup yang bernapas dalam kegelapan. Malam itu, udara terasa berat, penuh dengan bau keringat, minyak goreng, dan asap rokok yang menyelimuti pasar belakang. Lampu-lampu neon berkedip-kedip, menciptakan bayang-bayang yang menari-nari di dinding-dinding retak. Arya berdiri di sudut lorong, tubuhnya menyatu dengan kegelapan, matanya tajam mengamati kerumunan yang mulai memadati pasar malam. Pisau kater di sakunya terasa dingin, batu dalam kaus kaki tergantung di pinggang seperti jimat setia, dan di saku dalam jaketnya, selembar kertas ayat dari Bang Jaka serta selongsong peluru kosong terasa seperti beban yang mengingatkannya pada jalan yang telah ia pilih. Ia bukan lagi bocah yang gemetar di tumpukan sampah; ia adalah bayangan yang siap bergerak, senjata yang ditempa oleh luka dan pelajaran Mbah Gondo.
-------
Pasar malam di pinggir terminal adalah medan perang yang berbeda. Di sini, dunia bawah menunjukkan wajahnya yang penuh warna namun beracun. Pedagang menjajakan sate dan mainan plastik, anak-anak berlarian dengan balon murahan, dan preman menyamar sebagai penutup malam, mengintai dari balik tawa dan lampu neon. Arya, bersama si Mamat, Joni, dan Teti---trio kecil yang kini menjadi bayangannya---berjalan di antara kerumunan, langkah mereka hati-hati, mata mereka waspada. Mbah Gondo telah mengajarinya bahwa pasar malam bukan hanya tempat untuk mencuri atau bertahan, tapi juga arena untuk membaca permainan yang lebih besar. "Di sini, lo belajar siapa kawan, siapa lawan, dan siapa yang pura-pura jadi keduanya," kata lelaki tua itu, dan Arya menyimpan kata-kata itu seperti peta di kepalanya.
Malam Itu mereka duduk di balik gerobak sate yang sudah tutup, menyaksikan kerumunan dari kejauhan. Mamat, dengan kebiasaannya mengupil, berbisik tentang seorang pedagang yang selalu menyembunyikan uang di bawah meja. Joni, yang bisu, menunjuk dengan gerakan tangan ke arah seorang pria bertopi yang berjalan terlalu pelan, tangannya selalu di saku---tanda copet. Teti, dengan mata setajam elang, memperhatikan seorang wanita berpakaian mencolok yang menggoda pria-pria mabuk di sudut pasar. "Penjerat," bisik Teti, dan Arya mengangguk, menghafal setiap wajah, setiap gerakan.