Mohon tunggu...
Irman Triharyanto
Irman Triharyanto Mohon Tunggu... Arsitek

simpel2 aja, gak mau ribet, sedikit romantis dan melankolis. Mencoba menghadirkan nostalgia masa lalu melalui tulisan...

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Arya, Si Anak Terbuang (Bab 5)

31 Juli 2025   16:24 Diperbarui: 1 Agustus 2025   10:00 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 5 -- Anjing Jalanan yang Belajar Menggigit

Arya diam, tapi kata-kata itu masuk ke dalam darahnya, seperti racun yang justru memperkuat. Ayat-ayat itu bukan sekadar bacaan; mereka adalah tameng, pedang tak terlihat yang bisa ia gunakan di dunia yang penuh pengkhianatan.

Hari-hari berlalu seperti silet tumpul---lambat, namun tetap melukai. Arya kini menjadi pengamat ulung, pelajar yang menyerap setiap pelajaran dari Mbah Gondo dan Bang Jaka. Ia belajar membaca niat jahat dari cara seseorang memegang rokok, mengetahui kebohongan dari kedipan mata yang terlalu cepat, dan merasakan bahaya dari langkah kaki yang terlalu pelan. Tapi satu malam, semuanya berubah.

Di depan warung kopi yang ramai, seorang preman mabuk---berbadan besar dengan tato naga di leher---menabrak Mbah Gondo yang sedang berjalan perlahan. Tubuh tua itu terbanting ke trotoar, rokok di tangannya jatuh ke genangan air. Preman itu tertawa, suaranya serak dan penuh ejekan. "Orang tua bangka, jalan lo njem duit, ya?" katanya, mengayunkan botol arak di tangannya.

Arya, yang berdiri beberapa langkah di belakang, merasakan darahnya mendidih. Tanpa berpikir, ia melangkah maju, berdiri di depan Mbah Gondo, matanya menatap preman itu dengan dingin. Tak ada kata, tak ada peringatan. Ia mengambil botol kaca kosong dari tumpukan sampah di sampingnya dan menghantamkannya ke kepala si preman dengan sekuat tenaga. Botol itu pecah, darah menyembur dari pelipis pria itu, dan jeritannya mengguncang malam. Preman itu ambruk, tangannya memegangi wajahnya yang berdarah, sementara kerumunan di sekitar warung terdiam.

"Lari!" bisik Mbah Gondo, menarik tangan Arya. Mereka berlari ke lorong gelap, menyelinap di antara tumpukan karung dan tong oli, hingga akhirnya bersembunyi di kolong jembatan. Hujan turun deras, menutupi jejak mereka. Tubuh Arya gemetar, bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang baru---rasa kuasa yang mengalir di nadinya seperti candu. Untuk pertama kalinya, ia merasa bukan hanya bertahan, tapi menguasai.

-------

Pagi itu, Bang Jaka memanggil Arya ke masjid kecil. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah dinding, menerangi wajah marbot itu yang penuh bekas luka. "Lo udah ngerasain rasanya mukul orang sampai berdarah?" tanyanya, suaranya tenang namun berat.

Arya mengangguk, matanya tak berkedip.

"Gue nggak akan bilang itu salah," lanjut Bang Jaka, menyalakan rokok dan menatap ke kejauhan. "Tapi dari sini, hidup lo bakal berubah. Sekali lo pilih jalan gelap, ayat cuma jadi penunjuk arah. Lo yang mutusin mau ke neraka atau ke balik jeruji."

Arya diam, lalu berkata pelan, suaranya seperti bisikan angin malam, "Gue nggak takut neraka. Neraka udah buang gue."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun