Mohon tunggu...
Achmad Syujai
Achmad Syujai Mohon Tunggu... Guru - pesantrennuris.net

Penulis adalah alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Jember. Saat ini penulis bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia di SMK NURIS Jember dan pembina jurnalistik di lingkungan Yayasan Nurul Islam, Antirogo-Jember. Selain mengajar, penulis juga aktif berkarya bersama grup musikalisasi puisi “Selimut Dingin” Jember.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terang Bulan Pak Jalil

29 November 2017   21:44 Diperbarui: 29 November 2017   21:55 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak sengaja aku mendengarkan percakapan Bu Anita dan Bu Mahjubin yang berdiri di sebelahku. Mereka nampaknya juga sedang memerhatikan sepeda Pak Tua di luar.

"Mereka bisa sekolah di sini setelah dikunjungi mantan bupati dulu. Tapi lihat setelah itu. Tak ada yang memikirkan nasib mereka sekarang. Yang perempuan memang yang paling pandai di kelas. Tapi dua laki-laki yang lain sudah beberapa kali tidak naik kelas. Apalagi Hasyim. Dia seharusnya sudah SMP. Terkadang penerima bantuan tidak dapat menggunakkannya dengan bijak."

"Saya dengar juga mereka tidak pernah jajan di sekolah, Bu. Saya heran kenapa mereka masih berdiri di sana?"

"Mungkin ada yang memberi mereka uang lalu menunggu Pak Tua itu, membeli dagangannya."

Bu Mahjubin bercermin ke kaca jendela lalu melangkah keluar menuruni anak tangga. Sepintas ku lihat tubuh gemuknya hilang di bawah anak tangga.

"Kenapa kau diam saja Pak Tua? Kau tak ingin ikut meludahiku seperti ibu ini?" Teriak kepala sekolah sambil menunjuk Bu Marsum yang masih melototinya. Pak Tua itu sepertinya tidak terlalu memerhatikan ucapan kepala sekolah. Apakah ia benar-benar bersalah sampai-sampai ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun.

"Diammu itu sudah cukup membuktikan pengakuanmu atas kasus ini." Kepala sekolah semakin menjiwai peran hakim tunggalnya.

Tapi tunggu, Pak Tua itu tak seperti maling yang tertangkap basah di kandang ayam. Wajah sedihnya seperti sedang mengiba. Ada hal yang di luar pikirannya dalam persidangan ini.

Pak Tua itu tiba-tiba menangis. Tubuh kurusnya beberapa kali kejang karena isaknya. Sebuah peristiwa yang menggugah rasa kemanusiaan yang mampu membungkam mulut semua orang dalam ruangan itu. Tak terkecuali aku. Semua mata dan hati tertuju kepada Pak Tua. Semua pikiran sama-sama berlomba untuk menebak apa yang ditangisi oleh Pak Tua penjual makanan. Kepala sekolah mengambil tempat untuk duduk.

Lama kami semua terdiam, Pak Tua itu akhirnya buka mulut. "Duhh. Sakitnya."

Sakit? Apanya yang sakit? Kulihat Pak Tua itu tak nampak sedang terluka atau sedang menderita penyakit. Siapa yang sakit? Pak Tua? Keluarganya? Atau hati Pak Tua itu yang sakit karena diolok-olok kepala sekolah? Pak Tua itu lalu melepaskan kopyah hitam usangnya. Tampak rambut jarang di kepalanya yang kriput. Rambutnya putih, memudar mengikuti usianya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun