Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis

Dosen. Redaktur CakNun[dot]com.

Selanjutnya

Tutup

New World Pilihan

Kalau AI Melanggar Etika, Siapa yang Bertanggung Jawab?

7 April 2025   14:09 Diperbarui: 7 April 2025   14:09 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(SHUTTERSTOCK/LOOKER STUDIO)

Dunia makin dipenuhi algoritma. Kadang kita lengah bahwa tidak setiap keputusan besar murni diambil oleh manusia.

Sebagian keputusan itu kini dilimpahkan pada sistem kecerdasan buatan. AI (Artificial Intelligence) bisa menilai, memprediksi, dan bahkan merekomendasikan siapa yang layak dapat pinjaman kredit, siapa yang cocok diterima kerja, atau siapa yang "mencurigakan" berdasarkan wajah dan gerak-gerik.

Teknologi ini kita sambut dengan decak kagum. Tapi begitu muncul kasus salah deteksi, bias rasial dalam sistem pengenalan wajah, atau algoritma rekrutmen yang ternyata diskriminatif, mendadak kita kelimpungan.

Lalu muncul pertanyaan yang terdengar sepele tapi sebenarnya sangat logis-filosofis: kalau AI bikin salah, siapa yang harus kita tegur?

Itu pertanyaan bukan sekadar teknis, tapi menyentuh inti dari tanggung jawab moral di era baru.

AI---meski disebut "pintar"---tetaplah benda mati. Ia tidak bisa menyesal, tidak punya nurani, tidak bisa dimintai maaf.

Justru karena itu, kita harus semakin jeli: siapa yang berdiri di balik layar?

Mari kita urai satu persatu.

Pertama, para pengembang. Mereka yang menulis kode, melatih model, dan mendesain sistem pengambilan keputusan.

Pengembang bukan dewa. Mereka bekerja di bawah tekanan bisnis, deadline, dan struktur organisasi perusahaan. Seringkali mereka hanya bagian kecil dari proses besar yang dikendalikan oleh logika pasar, bukan etika.

Kedua, perusahaan teknologi. Mereka yang memutuskan untuk menggunakan algoritma tertentu, mengomersialkan, dan mendistribusikannya ke publik.

Di sinilah biasanya muncul konflik antara efisiensi dan etika. AI bisa memangkas biaya dan mempercepat proses, tapi kalau merugikan kelompok rentan, siapa yang mau bertanggung jawab?

Ketiga, pemerintah. Regulasi adalah lapis pelindung terakhir. Kecepatan inovasi teknologi membuat hukum dan etika selalu ketinggalan langkah.

Kita belum punya kerangka yang solid untuk memastikan AI bertindak sesuai prinsip keadilan, akuntabilitas, dan non-diskriminasi. Dalam banyak kasus, kebijakan masih reaktif---baru bergerak setelah terjadi kesalahan.

Yang menarik, tanggung jawab moral dalam konteks AI seringkali terpecah dan tersamar.

Para filsuf teknologi menyebutnya "diffused responsibility"---tidak ada satu pihak pun yang bisa ditunjuk dengan jelas.

Maka, yang terjadi bukan pertanggungjawaban, tapi saling lempar tangan. AI seolah jadi kambing hitam yang tidak bisa membela diri.

Kita perlu bertanya ulang: apakah sistem yang kita ciptakan---secanggih apa pun---masih mencerminkan nilai-nilai manusia?

AI bukanlah makhluk netral. Ia dibentuk oleh data historis yang penuh bias, oleh keputusan desain yang punya konsekuensi sosial, dan oleh nilai-nilai tertentu yang kita tanamkan secara diam-diam.

Jika tidak hati-hati, kita akan hidup dalam dunia di mana keputusan penting dibuat oleh sistem yang tahu banyak tentang kita, tapi tidak peduli pada kita.

Jadi kalau AI bikin salah, siapa yang harus kita tegur?

Jawabannya tidak sesederhana menunjuk satu orang atau satu institusi. 

Justru ini alasan kenapa kita perlu memperluas ruang etika---bukan hanya di ruang kuliah atau forum diskusi akademik, tapi di ruang rapat perusahaan, parlemen, dan bahkan layar ponsel kita.

Tanggung jawab moral bukan tentang siapa yang bisa disalahkan. 

Bukan hanya tentang siapa yang mau bertanggung jawab untuk menciptakan teknologi yang tidak hanya cerdas, tapi juga adil, transparan, dan sungguh-sungguh peduli pada etika dan manusia.

Sebelum kita menunjuk siapa yang bertanggung jawab, kita bisa mulai dengan bertanya pada diri sendiri: apa saja yang selama ini dalam aspek kehidupan kita  berjalan tanpa etika?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten New World Selengkapnya
Lihat New World Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun