Ngaku lepat bukan hanya milik individu atau hubungan personal. Ia juga menyentuh ranah struktural.
Dalam masyarakat yang pernah---dan mungkin sedang---mengalami ketimpangan, pengakuan atas kesalahan masa lalu menjadi fondasi penting menuju rekonsiliasi dan perbaikan.
Pemerintah sebagai entitas kekuasaan, tidak luput dari tanggung jawab moral.
Dalam perjalanan sejarah bangsa, tak sedikit luka kolektif yang meninggalkan trauma: penghilangan paksa, pembatasan kebebasan, marginalisasi kelompok adat, ketimpangan pembangunan, dan berbagai bentuk ketidakadilan lainnya.
Semua itu tidak bisa disapu begitu saja dengan dalih atau atas nama pembangunan dan stabilitas.
Di sinilah pentingnya ngaku lepat dalam konteks struktural---yakni keberanian pemerintah mengakui kegagalannya dalam melindungi, mengayomi, dan memenuhi hak rakyatnya.
Ini bukan soal membuka aib masa lalu, melainkan membuka ruang untuk membangun kepercayaan yang telah lama retak.
Pengakuan kesalahan dari pemerintah bukan tanda kelemahan, tetapi justru wujud dari kepemimpinan yang matang.
Pemerintah yang mau ngaku lepat menunjukkan bahwa dirinya hadir bukan sebagai entitas kekuasaan yang selalu benar, tetapi sebagai mitra rakyat yang juga belajar dari kesalahan dan bersedia berubah.
Lebih dari itu, ngaku lepat dapat menjadi strategi transformatif. Ia memberi sinyal bahwa pemerintah siap mendengar, siap membuka ruang dialog, siap memperbaiki sistem agar lebih adil.Â
Sikap ini adalah inti dari akuntabilitas.