Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis

Dosen. Redaktur CakNun[dot]com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Ngaku Lepat" dan Pesan Moral Kemanusiaan

4 April 2025   18:53 Diperbarui: 4 April 2025   18:53 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketupat bukan sekadar sajian khas saat Idul Fitri. Ia adalah simbol. Ia memiliki nilai yang lebih dalam dari sekadar makanan.

Dalam tradisi Jawa, ketupat mengandung filosofi ngaku lepat---mengakui kesalahan. 

Simbol ini muncul dalam momen sakral: setelah sebulan berpuasa, kita diingatkan untuk selalu rendah hati, membuka diri, dan saling memaafkan.

Makna ketupat tidak berhenti di situ.

Perhatikan bentuknya. Anyaman janur muda yang rumit, selain menampilkan pesan estetik, juga menggambarkan jejaring sosial yang saling terikat.

Masyarakat yang harmonis dibangun dari benang-benang relasi antarindividu. Simbol bahwa kita tidak hidup sendiri, tapi saling terhubung dalam struktur sosial yang kompleks.

Dari sinilah makna ketupat dibaca lebih luas. Ketupat bukan simbol religius atau budaya semata. Ia adalah konstruksi sosial---cara masyarakat mengatur nilai dan relasi sosialnya.

Dan seperti semua simbol sosial, ia terus bergerak mengikuti dinamika zaman. Ketupat dapat menjadi simbol inklusivitas.

Dalam masyarakat yang semakin plural, pengakuan kesalahan tidak hanya berlangsung di ruang personal. Pengakuan ini juga berlangsung dan menjadi bagian dari diskursus publik.

Ketika kelompok atau institusi mengakui kesalahan historis---atas diskriminasi, kekerasan, atau ketidakadilan---di situlah semangat ngaku lepat hadir dalam skala yang lebih luas.

Ngaku lepat bukan hanya milik individu atau hubungan personal. Ia juga menyentuh ranah struktural.

Dalam masyarakat yang pernah---dan mungkin sedang---mengalami ketimpangan, pengakuan atas kesalahan masa lalu menjadi fondasi penting menuju rekonsiliasi dan perbaikan.

Pemerintah sebagai entitas kekuasaan, tidak luput dari tanggung jawab moral.

Dalam perjalanan sejarah bangsa, tak sedikit luka kolektif yang meninggalkan trauma: penghilangan paksa, pembatasan kebebasan, marginalisasi kelompok adat, ketimpangan pembangunan, dan berbagai bentuk ketidakadilan lainnya.

Semua itu tidak bisa disapu begitu saja dengan dalih atau atas nama pembangunan dan stabilitas.

Di sinilah pentingnya ngaku lepat dalam konteks struktural---yakni keberanian pemerintah mengakui kegagalannya dalam melindungi, mengayomi, dan memenuhi hak rakyatnya.

Ini bukan soal membuka aib masa lalu, melainkan membuka ruang untuk membangun kepercayaan yang telah lama retak.

Pengakuan kesalahan dari pemerintah bukan tanda kelemahan, tetapi justru wujud dari kepemimpinan yang matang.

Pemerintah yang mau ngaku lepat menunjukkan bahwa dirinya hadir bukan sebagai entitas kekuasaan yang selalu benar, tetapi sebagai mitra rakyat yang juga belajar dari kesalahan dan bersedia berubah.

Lebih dari itu, ngaku lepat dapat menjadi strategi transformatif. Ia memberi sinyal bahwa pemerintah siap mendengar, siap membuka ruang dialog, siap memperbaiki sistem agar lebih adil. 

Sikap ini adalah inti dari akuntabilitas.

Ketupat, dalam tafsir sosial-politik, menjadi simbol penting: hubungan antara pemerintah dan rakyat seharusnya dibangun bukan atas dasar kuasa semata, tetapi atas dasar kepercayaan, kesediaan untuk merefleksi diri, dan komitmen untuk berubah.

Lalu, bagaimana dengan anyaman janur?

Pada era digital ia bisa dimaknai sebagai representasi dari jaringan manusia yang makin tak kasat mata.

Media sosial, platform digital, dan ruang virtual telah membentuk relasi baru dari keterhubungan: kompleks, cair, kadang membingungkan.

Namun prinsip dasarnya tetap sama: kita saling terkait.

Dalam dunia yang penuh distraksi informasi, keterhubungan bukan hanya soal akses, tapi juga soal empati.

Apakah kita masih mau saling mendengar? Saling memahami? 

Atau kita justru terperangkap dalam ruang gema (echo chambers) yang memperkuat bias masing-masing?

Pada konteks itu filosofi ketupat kembali berbicara. 

Ia mengingatkan bahwa keterhubungan yang sehat membutuhkan kesadaran; membutuhkan kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita bisa saja salah; membutuhkan keberanian untuk keluar dari ego kelompok dan membangun ruang kebersamaan.

Ketupat, dengan segala kesederhanaannya, memberi pelajaran mendasar: harmoni sosial tidak terjadi begitu saja. 

Ia dibangun dari pengakuan, empati, dan kesediaan untuk merajut ulang ikatan yang mungkin pernah terputus.

Dan mungkin itulah alasan kenapa ketupat tetap bertahan. 

Ia lentur, tapi tidak kehilangan makna. Ia sederhana, tapi mengandung kompleksitas makna yang tak lekang oleh waktu.

Dari simbol tradisional, ketupat menjelma menjadi jembatan makna antara masa lalu dan masa kini.

Ketupat mengingatkan kita bahwa dalam dunia yang berubah cepat, kita tetap memerlukan nilai-nilai dasar: kerendahan hati, rekonsiliasi, dan keterhubungan.

Ketupat tidak hanya menyampaikan pesan budaya, tetapi juga  pesan moral kemanusiaan yang selalu aktual.[]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun